Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun. Mau tidak mau dakwah islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu mempertimbangkan seg-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat.1
Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al-nuzûl merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Asbâb al-nuzûl juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu.
Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama (Islam ) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.2
Pada perkembangan selanjutnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut. Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus diterapkan di semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan. Sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan aplikasi dari ketentuan yang sudah ada. Hal ini karena masing-masing umat islam memiliki budaya yang berbeda, hasil akhirnya ditentukan oleh kreatifitas masyarakat dalam mendialogkan kebudayaan mereka dengan ajaran agama yang diyakininya.
Di sisi lain terdapat pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan antara Islam sebagai agama dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya memilah antara mana yang merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang telah berakulturasi dengan budaya Arab. Islam adalah agama universal sehingga ajarannya harus bisa diterapkan di manapun dan pada waktu kapan pun.
Atas dasar inilah, pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul termasuk di Indonesia. NU merupakan salah satu representasi dari ummat Islam di Indonesia yang memiliki kecenderungan untuk senantiasa mensinergikan ajarana agama (Islam) dengan budaya lokal dengan mengusung terma al-muhâfazat ‘alâ qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan pemikiran ke-Islam-an yang berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal Nusantara. NU senantiasa memposisikan diri sebagai ‘jangkar’ Nusantara. Memperbincangkan sikap akomodatif NU terhadap tradisi atau budaya lokal sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru.
Sudah banyak tulisan-tulisan yang mengupas soal tradisi atau budaya lokal yang menjadi basis kekuatan NU. Namun, dalam pendangan penulis topik seputar hubungan NU dengan budaya atau tradisi lokal tetap aktual, mengingat dua hal berikut: pertama, sikap akomodatif NU terhadap budaya atau tardisi lokal bersifat dinamis. Kedua, saat ini banyak kalangan umat Islam di luar NU, khususnya yang berideologi puritanisme ala Wahabi yang sangat gencar “menyerang” ritual keagaman yang dianut kaum nahdliyyin.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraikan ihwal sikap akomodatif NU yang berbasis pesantren terhadap budaya lokal dalam konteks kehidupan kegamaan dan kebangsaan yang menjadi landasan ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.
B. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di Indonesia : Perspektif Historis
Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan yang tak pernah usai. Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani agamanya: shalihun li kulli zaman wa makan—selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Maka Islam akan senatiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks. Dan fakta yang takbisa dipungkiri, kehadiran Islam tersebut dalam setiap konteks tertentu; tak nihil dari muatan-muatan lokal yang mendahului kehadiran Islam.
Dalam ungkapan yang lebih bernas, Islam tidak datang ke sebuah tempat, dan di suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mawin antara Islam dengan muatan-muatan lokal.
Di sisi lain, Islam merupakan agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.3 Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan “pribumisasi Islam”.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.4
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.5
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.
Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer.6
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang “Arabi-sasi”, mana yang “Islamisasi”. Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran.7 Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata ‘nyembah sang Hyang’) adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata.
Di masa sekarang, khususnya di Jawa, sulit bagi kita untuk menemukan bentuk Islam yang asli dan orisinil. Ini dikarenakan, sebelum Islam masuk ke Indonesia, di Jawa sudah berkembang tradisi Hindu dan kejawen yang angat mengakar kuat di masyarakat. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi pekembangan penyebaran Islam. Model dakwah kultural dengan cara damai yang dikembangkan oleh para penyebar agama Islam sangat berpengaruh pada eksistensi Islam saat ini. Dengan cara mengisi seluruh elemen budaya dam kehidupan dengan nilai-nilai Islam tanpa harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Implikasi logis dari model dakwah tersebut, yakni terjadinya akulturasi Islam dengan budaya lokal.
Saling sapa Islam dengan budaya lokal pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang ke Nusantara. Pedagang menyapa untuk mempromosikan dagangannya sekaligus menawarkan keyakinan keislamannya. Kekuatan ekonomi sebagai simbol kesejahteraan dan keimanan atau kepercayaan sebagai dasar kedamaian didialektikan secara bersamaan oleh para juru dakwah kepada masyarakat.
Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.8
Tiga daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir), Gujarat (India), dan Persia (Iran) tersebut menambah varian akulturasi budaya Islam Nusantara semakin plural. Hal ini bisa dirujuk adanya gelar sultan al-Malik bagi raja kesultanan Samudra Pasai. Gelar ini mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir yang memegang madzhab syafi’iah, gaya batu nisan menunjukkan pengaruh budaya India, sedangkan tradisi syuroan menunjukkan pengaruh budaya Iran atau Persia yang syi’ah.9 Budaya Islam Nusantara memiliki warna pelangi.
Di saat para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat memberikan sapaan sosiologis terhadap komunitas Nusantara dan mendapatkan respon yang cukup besar sehingga memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur.
Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik” hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan” kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budhis yang kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa10 yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang kuat.
Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan Persia dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas.11
Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain.
Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam me-mahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau12 yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya.
Persinggungan Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu.
Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.13 Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.14
Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena perang saudara tersebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun. Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa.
Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya.15
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya.
Faktor fisiologis mempengaruhi watak psikologis dan sosialnya.16 Begitu juga letak geografis, tingkat kesuburan, dan kesejukan pulau Jawa akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dan bersikap. Siapapun yang ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan karakteristik ini sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan dengan baik dan efektif.
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya17 yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.
Islam kejawen dipandang sebagai Islam berkualitas rendah atau semi-Islam karena simbol Jawa lebih dominan daripada simbol Arab, mencampuradukan Islam dengan berbagai keyakinan dan ekspresi lokal, serta orientasi keagamaannya cenderung pada mistik dan panteistik.18
Islam istana juga memiliki gambaran yang hampir sama berbeda dengan muslim sejati, yaitu kaum santri yang dalam perilaku dan simbol keberagamaannya lebih bernuansa Arab meskipun pakaian dan bahasa kesehariannya tetap Jawa.
Jika ditelusuri lebih jauh, pada masa perumusan dan pelembagaan budaya Jawa (abad ke-19), hal terpenting yang dicatat oleh MC. Ricklefs adalah pengaruh Islam yang besar pada wacana yang berkembang. Islam, menurutnya, membentuk satu substansi utama dalam proses kebangkitan budaya Jawa. Bersama dengan tradisi Jawa pra-Islam yang bersifat Hindu-Budhis.
Islam memberikan landasan nilai dan etik bagi bangunan sistem budaya Jawa yang dirumuskan. Islam dan ke-Jawa-an yang sering dianggap bertentanggan, justru memperlihatkan satu kesesuaian yang harmonis. Keduanya saling membentuk paradigma baru bagi kebangkitan budaya Jawa bersamaan dengan perkembangan dan pelembagaan Islam secara intensif dalam kehidupan masyarakat.19
Islam sebagai entitas yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan usianya maupun karena persentuhannya dengan berbagai budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing. Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis di mana dia hidup.
Perbedaan keberagamaan Muslim Jawa sesungguhnya bukan pada otentisitas, tetapi lebih pada cara pandang pemeluk Muslim terhadap teks kitab suci agamanya. Jadi, permasalahanya adalah bagaimana kitab suci itu dibaca dan berdialog dengan kasus aktual dan tradisi setempat. Saling menyapa ini membentuk sikap akomodatif dan arif terhadap budaya lokal yang karena kreativitas terbangun berbagai budaya yang terekspresikan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat Jawa.
Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al-nuzûl merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Asbâb al-nuzûl juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu.
Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama (Islam ) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.2
Pada perkembangan selanjutnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut. Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus diterapkan di semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan. Sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan aplikasi dari ketentuan yang sudah ada. Hal ini karena masing-masing umat islam memiliki budaya yang berbeda, hasil akhirnya ditentukan oleh kreatifitas masyarakat dalam mendialogkan kebudayaan mereka dengan ajaran agama yang diyakininya.
Di sisi lain terdapat pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan antara Islam sebagai agama dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya memilah antara mana yang merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang telah berakulturasi dengan budaya Arab. Islam adalah agama universal sehingga ajarannya harus bisa diterapkan di manapun dan pada waktu kapan pun.
Atas dasar inilah, pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul termasuk di Indonesia. NU merupakan salah satu representasi dari ummat Islam di Indonesia yang memiliki kecenderungan untuk senantiasa mensinergikan ajarana agama (Islam) dengan budaya lokal dengan mengusung terma al-muhâfazat ‘alâ qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan pemikiran ke-Islam-an yang berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal Nusantara. NU senantiasa memposisikan diri sebagai ‘jangkar’ Nusantara. Memperbincangkan sikap akomodatif NU terhadap tradisi atau budaya lokal sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru.
Sudah banyak tulisan-tulisan yang mengupas soal tradisi atau budaya lokal yang menjadi basis kekuatan NU. Namun, dalam pendangan penulis topik seputar hubungan NU dengan budaya atau tradisi lokal tetap aktual, mengingat dua hal berikut: pertama, sikap akomodatif NU terhadap budaya atau tardisi lokal bersifat dinamis. Kedua, saat ini banyak kalangan umat Islam di luar NU, khususnya yang berideologi puritanisme ala Wahabi yang sangat gencar “menyerang” ritual keagaman yang dianut kaum nahdliyyin.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraikan ihwal sikap akomodatif NU yang berbasis pesantren terhadap budaya lokal dalam konteks kehidupan kegamaan dan kebangsaan yang menjadi landasan ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.
B. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di Indonesia : Perspektif Historis
Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan yang tak pernah usai. Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani agamanya: shalihun li kulli zaman wa makan—selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Maka Islam akan senatiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks. Dan fakta yang takbisa dipungkiri, kehadiran Islam tersebut dalam setiap konteks tertentu; tak nihil dari muatan-muatan lokal yang mendahului kehadiran Islam.
Dalam ungkapan yang lebih bernas, Islam tidak datang ke sebuah tempat, dan di suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mawin antara Islam dengan muatan-muatan lokal.
Di sisi lain, Islam merupakan agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.3 Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan “pribumisasi Islam”.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.4
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.5
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.
Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer.6
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang “Arabi-sasi”, mana yang “Islamisasi”. Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran.7 Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata ‘nyembah sang Hyang’) adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata.
Di masa sekarang, khususnya di Jawa, sulit bagi kita untuk menemukan bentuk Islam yang asli dan orisinil. Ini dikarenakan, sebelum Islam masuk ke Indonesia, di Jawa sudah berkembang tradisi Hindu dan kejawen yang angat mengakar kuat di masyarakat. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi pekembangan penyebaran Islam. Model dakwah kultural dengan cara damai yang dikembangkan oleh para penyebar agama Islam sangat berpengaruh pada eksistensi Islam saat ini. Dengan cara mengisi seluruh elemen budaya dam kehidupan dengan nilai-nilai Islam tanpa harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Implikasi logis dari model dakwah tersebut, yakni terjadinya akulturasi Islam dengan budaya lokal.
Saling sapa Islam dengan budaya lokal pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang ke Nusantara. Pedagang menyapa untuk mempromosikan dagangannya sekaligus menawarkan keyakinan keislamannya. Kekuatan ekonomi sebagai simbol kesejahteraan dan keimanan atau kepercayaan sebagai dasar kedamaian didialektikan secara bersamaan oleh para juru dakwah kepada masyarakat.
Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.8
Tiga daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir), Gujarat (India), dan Persia (Iran) tersebut menambah varian akulturasi budaya Islam Nusantara semakin plural. Hal ini bisa dirujuk adanya gelar sultan al-Malik bagi raja kesultanan Samudra Pasai. Gelar ini mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir yang memegang madzhab syafi’iah, gaya batu nisan menunjukkan pengaruh budaya India, sedangkan tradisi syuroan menunjukkan pengaruh budaya Iran atau Persia yang syi’ah.9 Budaya Islam Nusantara memiliki warna pelangi.
Di saat para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat memberikan sapaan sosiologis terhadap komunitas Nusantara dan mendapatkan respon yang cukup besar sehingga memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur.
Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik” hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan” kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budhis yang kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa10 yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang kuat.
Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan Persia dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas.11
Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain.
Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam me-mahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau12 yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya.
Persinggungan Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu.
Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.13 Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.14
Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena perang saudara tersebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun. Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa.
Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya.15
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya.
Faktor fisiologis mempengaruhi watak psikologis dan sosialnya.16 Begitu juga letak geografis, tingkat kesuburan, dan kesejukan pulau Jawa akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dan bersikap. Siapapun yang ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan karakteristik ini sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan dengan baik dan efektif.
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya17 yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.
Islam kejawen dipandang sebagai Islam berkualitas rendah atau semi-Islam karena simbol Jawa lebih dominan daripada simbol Arab, mencampuradukan Islam dengan berbagai keyakinan dan ekspresi lokal, serta orientasi keagamaannya cenderung pada mistik dan panteistik.18
Islam istana juga memiliki gambaran yang hampir sama berbeda dengan muslim sejati, yaitu kaum santri yang dalam perilaku dan simbol keberagamaannya lebih bernuansa Arab meskipun pakaian dan bahasa kesehariannya tetap Jawa.
Jika ditelusuri lebih jauh, pada masa perumusan dan pelembagaan budaya Jawa (abad ke-19), hal terpenting yang dicatat oleh MC. Ricklefs adalah pengaruh Islam yang besar pada wacana yang berkembang. Islam, menurutnya, membentuk satu substansi utama dalam proses kebangkitan budaya Jawa. Bersama dengan tradisi Jawa pra-Islam yang bersifat Hindu-Budhis.
Islam memberikan landasan nilai dan etik bagi bangunan sistem budaya Jawa yang dirumuskan. Islam dan ke-Jawa-an yang sering dianggap bertentanggan, justru memperlihatkan satu kesesuaian yang harmonis. Keduanya saling membentuk paradigma baru bagi kebangkitan budaya Jawa bersamaan dengan perkembangan dan pelembagaan Islam secara intensif dalam kehidupan masyarakat.19
Islam sebagai entitas yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan usianya maupun karena persentuhannya dengan berbagai budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing. Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis di mana dia hidup.
Perbedaan keberagamaan Muslim Jawa sesungguhnya bukan pada otentisitas, tetapi lebih pada cara pandang pemeluk Muslim terhadap teks kitab suci agamanya. Jadi, permasalahanya adalah bagaimana kitab suci itu dibaca dan berdialog dengan kasus aktual dan tradisi setempat. Saling menyapa ini membentuk sikap akomodatif dan arif terhadap budaya lokal yang karena kreativitas terbangun berbagai budaya yang terekspresikan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat Jawa.
Dalam Basis Pesantren
Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang cukup penting adalah lahirnya unsur tradisi keagamaan santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan santri ini bersama dengan unsur pesantren dan kyai ini telah menjadi inti terbentuknya tradisi besar (Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasi antara tradisi Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain itu, islamisasi di Jawa juga telah melahirkan sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan keduanya, yaitu tradisi santri dan tradisi kraton sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.
HJ. Benda menyebutkan bahwa proses islamisasi di Jawa telah melahirkan peradaban santri (santri civilization), yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama, masyarakat, dan politik.20 Sementara Clifford Geertz memandang memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa yang disebut santri, yang berbeda dengan tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu Abangan dan Priyayi.21
Tradisi sosio-kultural santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran syari’at agama, sementara tradisi Abangan, ditandai dengan orientasi kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi Priyayi lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi Hindu-Jawa.22
Selain interaksi sosial secara langsung sebagaimana telah disebutkan, sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Jawa juga terbentuk karena model dan bentuk transmisi keilmuan yang dipilih di pesantren. Transmisi keilmuan Islam di antaranya dengan melakukan kajian terhadap Kitab Kuning yang ditulis oleh ulama Timur Tengah, Andalusia (Spanyol), dan ulama lain dari beberapa negara yang diakui oleh ulama pesantren yang disebut sebagai “kitab kuning” yang bisa dijadikan referensi karena telah teruji dapat memberikan alternatif pemecahan masalah yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah.
Kitab Kuning yang memenuhi persyaratan ini disebut dengan al-kutub al-mu’tabarah yang dijadikan sebagai kurikulum wajib di beberapa pesantren.23 Dengan menggunakan Kitab Kuning sebagai referensi secara tidak langsung pesantren telah menerima pemikiran ulama dari berbagai daerah yang jelas diyakini terpengaruh oleh budaya lokal di mana ulama tersebut hidup, belajar, dan memperoleh pengalaman spiritual. Di sisi lain, kiai yang hidup dalam lingkungan Jawa akan berinteraksi secara langsung dengan budaya lokal di luar Jawa melalui kajian kitab kuning sekaligus melakukan interaksi dengan buadaya lokal Jawa melalui hubungan perkawinan, interaksi sosial, ekonimi, dan politik dalam kehidupan sehari-hari.
Kajian terhadap kitab kuning ini terus berlangsung dan berdialog dengan budaya dan politik lokal. Secara politik Islam dan Jawa berdialog lewat pendirian kesultanan Islam di Jawa, sebagaimana kata Diponegoro24 yang berulang-ulang mengemukakan bahwa tujuan mendirikan negara agama (Islam) di Jawa adalah mangun luhuripun agami Islam ing Tanah Jawa, membangun citra luhur agama Islam di Jawa.
Beragama baginya sama artinya dengan membentuk keluhuran budi pekerti manusia, di samping menjadikan orang sebagai Muslim yang baik dengan melaksanakan tugas-tugas yang lebih khusus, misalnya mematuhi kelima rukun Islam. Pandangan seperti ini dipengaruhi oleh kajian keislaman ala kitab kuning yang dipelajari lewat para kiai pesantren.
Dialog demikian terus terjadi dan membuahkan kearifan lokal (local wisdom) atau kearifan tradisional, yaitu sebuah wawasan yang memuat kebijaksanaan orang Jawa dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Kearifan tradisional tersebut biasanya bersumber dari wawasan batin para cendikiawan terdahulu,25 yang telah ber-singgungan dengan nilai-nilai Islam dalam literatur klasik (Kitab Kuning) dan Jawa.
Jargon yang ada di pesantren al-muhâfadhah ala al-qadîm al-shâlih wa al-ahd bi al-jadîd al-ashlâh (mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi atau budaya baru yang lebih baik) merupakan model pesantren dalam mengembangkan harmoni yang sehat dengan budaya lokal, meskipun selama ini masih belum berjalan dengan sempurna.
Untuk menjaga harmonitas tersebut, pesantren menjadi akomodatif terhadap budaya setempat dan kurang memiliki greget pengembangan, sedangkan penghormatan terhadap tradisi dan pemikiran masa lalu membuat pesantren merasa gamang untuk mempelopori perubaan dan pengembangan budaya atau tradisi baru yang lebih konstruktif.
Sebagai contoh sikap akomodatif dan permisif terhadap budaya lokal adalah apa yang ceritakan oleh Saifuddin Zuhri26 bahwa kalangan pesantren, menonton wayang kulit hampir tidak pernah dipertentangkan apa hukumnya, haram atau boleh.
Ada yang mengambil sikap tidak boleh, tidak dijelaskan sampai tingkat apa ketidakbolehannya, apakah haram atau makruh, dengan dalil mendengarkan bunyi-bunyian yang mengasyikkan hingga terlengah dari ingat kepada Allah (dzikrullah), padahal tidak ingat kepada Allah hukumnya haram. Lagi pula bercampur-baurnya antara penonton pria dan wanita di waktu malam, bisa menjurus pada perbuatan maksiat. Ada juga yang mengambil pendirian boleh karena konon wayang adalah ciptaan para Wali (Wali Songo) dalam mengasimilasi ajaran agama Hindu ke dalam Islam.
Lagi pula orang bisa mengambil intisari pelajaran yang ada dalam lakon-lakon wayang. Dalam cerita Pandawa membangun sebuah candi selalu mengalami kehancuran, pagi dibangun sore harinya roboh, sore dibangun pagi harinya juga roboh. Setelah diteliti, ternyata ada sesuatu sarana paling fundamental yang terlupakan, yaitu tidak ikut disertakannya jimat kalimasodo (kalimah syahadat). Pasal nonton wayang kulit tidak pernah dipertentangkan bagaimana mengenai hukumnya.
Dalam kasus tentang menonton wayang sebagai bagian dari budaya lokal, Saifuddin Zuhri menunjukkan tentang bagaimana tradisi pesantren dalam memegangi hukum asal sesuatu adalah mubah, boleh sehingga ada alasan (‘illat) yang mengharamkannya. Hukum itu bergantung pada alasan yang mendasarinya (al-hukmu yadurru ma’a illatihi).
Untuk itu, dalam hal menonton wayang seorang muslim harus pandai mengambil intisari atau hikmah dari cerita wayang yang di-lakon-kan oleh dalang sekaligus menghindari hal-hal yang menyebabkan keharamannya seperti bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan saat menonton wayang.
Realitasnya, menonton wayang bagi masyarakat Jawa mengalami kesulitan untuk menghindarkan dari percampuran laki dan perempuan, terbukanya aurat bagi pesinden, dan minuman keras atau perjudian. Mendiamkan seperti ini memang terlahir kondisi harmonis, tetapi kemungkaran tetap berjalan dengan perubahan yang amat lambat.
Sikap demikian akomodatif ini, menurut Kuntowijoyo disebabkan karena pada umumnya umat Islam (Jawa) mengkaji Kitab Kuning yang merupakan kodifikasi dari al-Quran dan al-Sunnah. Menurut Kuntowijoyo, hasil dari kodifikasi itulah yang dipakai alat untuk berpikir, berkata, dan berbuat. Dekodifikasi di samping sifat positifnya, yaitu terjaganya hubungan antar-teks, juga mempunyai sifat-sifat negatif yang akan terjadi. Sifat negatif itu ialah involutif dan ekspansif. Involutif adalah gejala perkembangan ilmu yang semakin renik.
Di pesantren ada kebiasaan untuk mengembangkan pengetahuan dengan menulis buku-buku syarh (pembabaran terhadap kitab induk atau matan) dan hasyiyah (penjelasan terhadap syarh). Tradisi keilmuan seperti ini menunjukkan bahwa ukuran kesempurnaan penguasaan ilmu adalah pengembangan dari buku-buku lama yang sudah dianggap sudah mencapai standar (al-kutub al-mu’tabarah), tidak dalam pengembangan ilmu-ilmu dan pemikiran baru.
Di sisi lain, akibat involusi itu terbentuk sikap hormat yang berlebih-lebihan pada guru atau kiai sebagai pemegang otoritas ilmu. Involusi itu juga mengakibatkan tertutupnya pintu ijtihad karena orang dibuat tidak berani berpikir independen, lepas dari otoritas. Suatu ilmu, misalnya fiqh, sudah dianggap final sehingga orang hanya harus taqlid. Involusi ilmu ditunjukkan pada penguasaan kitab ad verbatim, kata demi kata bahkan secara hafalan di luar kepala. Ini berarti bahwa tuntutan terpenting bagi santri ialah pada hafalan tidak pada analisis.27
Dunia pendidikan pesantren yang mewakili masyarakat muslim tradisional, menurut Kuntowijoyo, selama ini mengembangkan ilmu-ilmu Islam hanyalah dengan kodifikasi (penjabaran, penafsiran, sistematisasi) dari teks-teks al-Qur’an dan Hadis. Teks-teks dikodifikasi menjadi teks baru, yaitu ilmu-ilmu Islam. Dekodifikasi adalah gerak dari teks ke teks. Sementara di dunia luar pesantren pada tahun 1980-an ada gagasan islamisasi ilmu. Ilmu-ilmu yang sudah ada “diislamkan” dengan mengembalikannya pada teks-teks Islam. Islamisasi ilmu adalah gerak dari konteks ke teks.
Perkembangan baru, yang diinginkan Kuntowijoyo adalah timbulnya ilmu-ilmu sosial yang mencoba menterjemahkan teks-teks Islam (al-Qur’an, Hadis, Tafsir, Fiqh, Tasawuf) dalam dunia nyata, dalam hidup sehari-hari, dalam gejala. Jadi, dari teks ke konteks yang ia sebut dengan demistifikasi Islam.28
Tradisi pesantren dikenal sebagai kaum tradisionalis yang akomodatif terhadap budaya lokal meskipun ia secara bersama dengan kaum modernis yang sama-sama santri berusaha memperoleh jati diri sendiri, sehingga mereka tidak tenggelam dalam budaya abangan dan berakibat pengayaan budaya. Pesantren merupakan tempat subur untuk pengembangan budaya dan peradaban Muslim.
Peradaban tauhid (theocentric civilization) bersandar pada ketentuan-ketentuan Tuhan untuk hal-hal primer. Selebihnya, ada kebebasan penuh bagi kreativitas manusia untuk hal-hal yang sifatnya sekunder, seperti urusan teknis, strukturasi politik, dan masalah kebudayaan. Soal kebudayaan ialah akhlaq al-karimah.29 Budaya Jawa diperbolehkan berkembang selama tidak bertentangan dengan peradaban tauhid.
Sikap kompromi terhadap budaya lokal inilah yang oleh orang luar pesantren dimaknai sebagai sikap permisif, tidak tegas, dan bid’ah yang haram dilakukan oleh umat Islam. Sementara oleh kiai dan santri pesantren hal demikian dianggap sebagai suatu pilihan dan pendekatan dalam dakwah dengan pendekatan kultural yang selamanya boleh asal didasarkan pada ahlaqul al-karimah.30 Dalam ke-rangka pikir seperti ini santri pesantren mendasari karakter berpikir, berprilaku, dan mengungkapkan perasaan dan karya-karya tulisnya. Potret santri yang selalu bergumul dengan tradisi masyarakat lokal untuk mengadopsi nilai positif sambil menggelorakan perasaan dan keinginannya untuk bergerak maju menuju peradaban yang dicita-citakan.31
Dalam konteks NU secara umum diktum klasik yang begitu lekat di kalangan nahdliyin adalah merawat tradisi lama yang baik dan mengadaptasi tradisi baru yang lebih baik (al-muhâfadzah ’ala al-qadîm al-shâlih wa al- akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh). Diktum ini menunjukkan komitmen komunitas NU dalam menghargai warisan tradisi, sekaligus pada saat yang sama apresiatif terhadap beragam perubahan yang ada di luarnya.
Inilah yang menjadi strategi budaya NU dalam berkomunikasi dengan realitas tradisi yang ada, termasuk dengan keyakinan lokal yang berkembang. Kemampuan adaptif NU dalam merespons tradisi lokal ini tidak mesti dipahami bahwa NU begitu permissif dengan tradisi-tradisi lokal di mana NU bersemai. Malah sebaliknya harus dilihat sebagai metode dalam menebar ajaran agama dalam komunitas.
Belajar dari strategi akulturatif yang digunakan pendakwah Islam dan para wali di masa lampau menyebarkan Islam, NU sangat sadar bahwa kebijaksanaan lokal bukan suatu yang harus dihindari, malah seharusnya dijadikan medium kultural dalam menebarkan ajaran agama. Ajaran Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan agar mendakwahkan ajaran agama sesuai dengan nalar dan kosmologi mereka (khatibinnas ‘ala qadri ‘uqulihim), oleh kalangan NU dipegangi dan dimanfaatkan sedemikian rupa dalam berdakwah. Karena, bagaimana mungkin menanamkan ajaran agama dengan sesuatu yang asing dengan tata cara masyarakat setempat.
Hal ini juga disampaikan oleh Ahmad Shiddiq.
Menurutnya, Islam tidak serta merta apriori menolak tradisi lama, juga tidak menentang, apalagi menghapuskan sama sekali. Islam, dan NU menganutnya, justru bersikap akomodatif, selektif, dan proporsional.32 Akomodatif yang dimaksud adalah bahwa Islam dibenarkan menerima tradisi lokal, namun ia juga selektif dalam arti bahwa tidak semua tradisi lokal diakomodasi, tetapi tradisi lokal yang ‘baik’ saja (al-qadîm al-shâlih) yang mungkin diterima. Sementara penerimaannya pun harus proporsional. Dengan demikian, afirmasi NU terhadap tradisi lokal pun bersyarat, sepanjang spirit agama itu yang disuntikkan pada tradisi lokal, bukan sebaliknya.
Inilah yang menurut Hasyim Muzadi menjadi keunikan NU. Menurutnya, di antara keunikan NU dibandingkan corak ke-Islaman lain di tanah air adalah cara NU menyikapi adat. NU tidak menolak adat dan tradisi lokal sepanjang cocok dengan tradisi Islam. Salah satu tradisi lokal yang terus dipertahankan hingga kini adalah tahlilan. Selain itu, dalam memahami agama, NU mewarisinya secara intelektual dari para ulama yang secara historis bersambung hingga Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, generasi setelah Rasulullah SAW hingga kini dianggap sebagai referensi intelektual dan moral kalangan Nahdliyin.33 Melalui pesantren, kalangan nahdliyin mengasah otak dan hati untuk terus memperjuangkan tradisi as-salafus shalih hingga senantiasa kontekstual sampai kini. Institusi pesantren inilah yang menjadi pusat pengkajian tradisi Islam dengan segala dinamikanya.
Namun, seringkali sekelompok orang memaknai situasi semacam ini dengan cibiran bahwa NU mengapresiasi dan mencintai klenik, bahkan melabelinya sebagai ahlul bidah’ waz ziyagh. Kelompok ini tidak sadar bahwa melupakan kekayaan tradisi lokal itu merupakan bentuk kepicikan yang mencoba berpikir ahistoris dan mengalami diskontinuitas sejarah.34 Kelompok ini menafikan bahwa Islam hadir ke tanah air melalui negosiasinegosiasi yang terus-menerus, dan di situlah sesungguhnya keunikan Islam Indonesia di bandingkan corak keberagamaan Islam di wilayah lainnya, termasuk dengan Islam Mekkah dan Madinah.
Corak keberislaman di Indonesia yang masih mewarisi produk Islamisasi para pendakwah di masa lampau yang dilakukan para ‘wali’ itu masih terus dilestarikan sebagai ekspresi ke-Islam-an di satu sisi dan ekspresi lokalitas di sisi yang lain.
Ini terlihat dengan corak keberagamaan yang masih mempertahankan tradisi lokal dalam laku kesehariannya. Meskipun sebagai orang Islam, Masyarakat Kampung Naga misalnya masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Dalam memperhitungkan cuaca, mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan posisinya menentukan curah hujan. Mereka juga membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi sekaligus juga mempercayai adanya dewa-dewa diktekapata, somamarocita, angarakata, budhaintuna, laspatimariha, sukramangkara, dan tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam.35
Begitu juga dengan negosiasi tradisi tradisi Islam dengan Ugomo Parmalim di tanah Batak. Parmalim merupakan agama rakyat yang telah berkembang jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Begitu Islam masuk, negosisi dengan tradisi lokal terus berlangsung. Indikasi adanya tawar-menawar tradisi ini terlihat dari bacaan-bacaan doa pembuka dan penutup tabas (mantra) yang menggunakan bacaan yang lebih mirip dengan bacaan Islam. Misalnya, ketika membuka mantra mereka membaca “Binsumillah dirakoman dirakomin” dan penutupnya “Yasa Yasu Yausa.” Terkadang juga membaca dibuka dengan bacaan “Bismillahirrahmanirrahiem” dan ditutup dengan “Borkat Kobul Lailaha Illallah" atau “
Borkat Kobul Baginda Saidina Ali.”36 Begitu juga dengan tradisi Sasak di Nusa Tenggara Barat, Dayak dan Banjar di Kalimantan, Jawa, dan lain sebagainya dengan Islam, tentu memiliki keunikan masing-masing. Belajar dari pengalaman para wali dan pendakwah Islam di masa lampau, corak keberagamaan yang unik yang dianut NU ini merupakan akulturasi beragam tradisi budaya yang ada dan mengemasnya sedemikian rupa dengan senantiasa memanfaatkan tradisi-tradisi lama yang masih baik dan memasukkan tradisi baru yang lebih baik.
Dengan demikian, tradisi keberagamaan NU ini tidak semata-mata copy-paste dari corak keberagamaan yang ada di Timur Tengah. Melainkan produk kreatif dari tradisi intelektual sehingga melahirkan corak tersendiri dalam beragama yang kemudian dikenal dengan Islam Indonesia. Sebuah corak keberagamaan Islam yang mampu berdamai dengan tradisi lokal.
D. Penutup
Sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Indonesia merupakan keniscayaan sejarah sebagai akumulasi dari dialog dan sapaan antarbudaya yang dibawa oleh para pedagang muslim yang memiliki karakteristik hidup yang lebih dinamis dibandingkan dengan masyarakat agraris atau petani. Dinamika kehidupan para pedagang dari berbagai daerah (Arab, India, dan Persia) ini membuka keragaman budaya Islam-Indonesia yang kemudian terbangun kuat lewat interaksi perdagangan, perkawinan, dan pewarisan kekuasaan politik di Indonesia.
Dalam konteks kehidupan keagamaan kaum nahdliyyin, sikap akomodatif ini diperkuat lagi dengan tradisi kajian kitab kuning yang menjadi literatur wajib bagi pesantren di lingkungan NU. Penulis kitab kuning yang berasal dari berbagai daerah (khususnya Timur Tengah termasuk Andalusia/Spanyol) telah memberikan kontribusi terhadap akulturasi budaya yang tertulis dalam setiap karya kitab kuning.
Penerimaan ulama atau kiai pada berbagai kitab kuning ini menunjukkan sikap akomodatif ulama atau para wali dan dai yang kemudian mereka teruskan dengan dialog-dialog kehidupan yang rutin dengan komunitas atau warga setempat di Indonesia.
Nahdlatul Ulama pada dasarnya adalah sebuah identitas kultural keagamaan mayoritas umat Islam Nusantara. Identitas kultural keagamaan yang dibangun berdasarkan sendi-sendi wahyu (agama) dan nilai-nilai kearifan lokal dengan berpegang pada filosofi al-muhâfadzah ’ala al-qadîm al-shâlih wa al- akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh.
Sikap akomodatif ini pula yang telah mengantarkan umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia. Tanpa sikap akomodatif seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Indonesia akan terasakan begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan dengan watak sosiologis dan geografis yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Islam di Indonesia akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya.
Sebaliknya, pembacaan terhadap teks kitab suci yang skripturalis-literalis dan sikap radikal dalam berislam akan membawa kemunduran dalam memperjuangkan nilai Islam. Islam rahmatan lil ’alamin selalu membawa kedamian. Dengan demikian sikap akomodatif dalam artinya yang positif menjadi pra-syarat untuk memajukan Islam di Indonesia. (dari buntet pesantren)
Sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Indonesia merupakan keniscayaan sejarah sebagai akumulasi dari dialog dan sapaan antarbudaya yang dibawa oleh para pedagang muslim yang memiliki karakteristik hidup yang lebih dinamis dibandingkan dengan masyarakat agraris atau petani. Dinamika kehidupan para pedagang dari berbagai daerah (Arab, India, dan Persia) ini membuka keragaman budaya Islam-Indonesia yang kemudian terbangun kuat lewat interaksi perdagangan, perkawinan, dan pewarisan kekuasaan politik di Indonesia.
Dalam konteks kehidupan keagamaan kaum nahdliyyin, sikap akomodatif ini diperkuat lagi dengan tradisi kajian kitab kuning yang menjadi literatur wajib bagi pesantren di lingkungan NU. Penulis kitab kuning yang berasal dari berbagai daerah (khususnya Timur Tengah termasuk Andalusia/Spanyol) telah memberikan kontribusi terhadap akulturasi budaya yang tertulis dalam setiap karya kitab kuning.
Penerimaan ulama atau kiai pada berbagai kitab kuning ini menunjukkan sikap akomodatif ulama atau para wali dan dai yang kemudian mereka teruskan dengan dialog-dialog kehidupan yang rutin dengan komunitas atau warga setempat di Indonesia.
Nahdlatul Ulama pada dasarnya adalah sebuah identitas kultural keagamaan mayoritas umat Islam Nusantara. Identitas kultural keagamaan yang dibangun berdasarkan sendi-sendi wahyu (agama) dan nilai-nilai kearifan lokal dengan berpegang pada filosofi al-muhâfadzah ’ala al-qadîm al-shâlih wa al- akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh.
Sikap akomodatif ini pula yang telah mengantarkan umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia. Tanpa sikap akomodatif seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Indonesia akan terasakan begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan dengan watak sosiologis dan geografis yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Islam di Indonesia akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya.
Sebaliknya, pembacaan terhadap teks kitab suci yang skripturalis-literalis dan sikap radikal dalam berislam akan membawa kemunduran dalam memperjuangkan nilai Islam. Islam rahmatan lil ’alamin selalu membawa kedamian. Dengan demikian sikap akomodatif dalam artinya yang positif menjadi pra-syarat untuk memajukan Islam di Indonesia. (dari buntet pesantren)
0 Response for the "Budaya Islam Lokal Dalam Tradisi NU"
Posting Komentar