>WEJANGAN DEWA RUCI >------------------ >termangu sang bima di tepian samudera >dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis >tak ada lagi tempat bertanya >sesirnanya sang naga nemburnawa > >dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan, >tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada >dan mustahil akan pernah bisa ditemukan >oleh manusia mana pun. > >menghampir sang dewa ruci sambil menyapa: >'apa yang kau cari, hai werkudara, >hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini >di tempat sesunyi dan sekosong ini' > >terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri >setelah melihat sang penanya ia bergumam: >'makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi >kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa? > >serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat >mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini >sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya > >sang sena semakin termangu menduga-duga, >dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa >ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. >entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. >dan siapa sebenarnya diriku ini > >ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat >yang tahu segalanya tentang dirimu >anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, >anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan >janaka. >yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri >mandraka. >datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna >untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini > >bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya >agar tidak mengalami kegelapan seperti ini >terasa bagai keris tanpa sarungnya > >sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup >ingatlah pesanku ini senantiasa >jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, >jangan menyuap sebelum mencicipnya. >tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, >sesuatu terwujud hanya dari tindakan. > >janganlah bagai orang gunung membeli emas, >mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas >bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan > >duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba >bertindak tanpa tahu asal tujuan >sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka. > >nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku. >lanjut sang marbudyengrat > >sang sena tertegun tak percaya mendengarnya >ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya >paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit > >kelingking pun tak akan mungkin muat. > >wahai werkudara si dungu anakku, >sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? >seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku, >jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam. > >mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika, >dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci >yang telah terangsur ke arahnya > >heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya >segala yang kau saksikan di sana > >hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena >alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung >tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang > >janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci >yakinilah bahwa di setiap kebimbangan >senantiasa akan ada pertolongan dewata > >dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya >setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan. > >heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan! > >awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena >kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. >apakah gerangan semua itu? > >ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, >penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah), >penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. >cahaya empat warna, itulah warna hati >hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal, >hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu >memiliki. >hanya si putih-lah yang bisa membawamu >ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam, > >namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain >hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi. >hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma. >adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan >di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar. > >duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu >setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna, >ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala >berkobar. > >itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih >semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. >sering disebut jagad agung jagad cilik > >dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih >seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, >tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, >akan tampak bagai lebah muda kuning gading >amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku > >semakin cerah rasa hati hamba. >kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. >warna sejatikah yang hamba saksikan itu? > >bukan, anakku yang dungu, bukan, >berusahalah segera mampu membedakannya >zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat, >tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini. > >sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana >yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan >ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya. >dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati, >ialah yang merawat raga >tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian. > >pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba >lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu? > >itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah >sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari >tempat ini >serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya. > >itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara >mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri >setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan >dari segala goda, >di saat itulah sang suksma akan menghampirimu, >dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati > >janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, >bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu >perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka >jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini >jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur >pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini >pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, >yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati >hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu >tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini. > >maka habislah wejangan sang dewaruci, >sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa >terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan >bagaikan kuntum bunga yang telah mekar. >menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta > >dan blassss . . . ! >sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat >kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci > >sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali >siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan > >tancep kayon > >salam,
>WEJANGAN DEWA RUCI >------------------ >termangu sang bima di tepian samudera >dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis >tak ada lagi tempat bertanya >sesirnanya sang naga nemburnawa > >dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan, >tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada >dan mustahil akan pernah bisa ditemukan >oleh manusia mana pun. > >menghampir sang dewa ruci sambil menyapa: >'apa yang kau cari, hai werkudara, >hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini >di tempat sesunyi dan sekosong ini' > >terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri >setelah melihat sang penanya ia bergumam: >'makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi >kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa? > >serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat >mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini >sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya > >sang sena semakin termangu menduga-duga, >dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa >ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. >entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. >dan siapa sebenarnya diriku ini > >ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat >yang tahu segalanya tentang dirimu >anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, >anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan >janaka. >yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri >mandraka. >datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna >untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini > >bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya >agar tidak mengalami kegelapan seperti ini >terasa bagai keris tanpa sarungnya > >sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup >ingatlah pesanku ini senantiasa >jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, >jangan menyuap sebelum mencicipnya. >tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, >sesuatu terwujud hanya dari tindakan. > >janganlah bagai orang gunung membeli emas, >mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas >bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan > >duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba >bertindak tanpa tahu asal tujuan >sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka. > >nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku. >lanjut sang marbudyengrat > >sang sena tertegun tak percaya mendengarnya >ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya >paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit > >kelingking pun tak akan mungkin muat. > >wahai werkudara si dungu anakku, >sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? >seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku, >jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam. > >mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika, >dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci >yang telah terangsur ke arahnya > >heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya >segala yang kau saksikan di sana > >hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena >alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung >tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang > >janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci >yakinilah bahwa di setiap kebimbangan >senantiasa akan ada pertolongan dewata > >dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya >setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan. > >heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan! > >awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena >kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. >apakah gerangan semua itu? > >ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, >penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah), >penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. >cahaya empat warna, itulah warna hati >hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal, >hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu >memiliki. >hanya si putih-lah yang bisa membawamu >ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam, > >namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain >hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi. >hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma. >adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan >di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar. > >duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu >setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna, >ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala >berkobar. > >itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih >semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. >sering disebut jagad agung jagad cilik > >dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih >seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, >tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, >akan tampak bagai lebah muda kuning gading >amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku > >semakin cerah rasa hati hamba. >kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. >warna sejatikah yang hamba saksikan itu? > >bukan, anakku yang dungu, bukan, >berusahalah segera mampu membedakannya >zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat, >tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini. > >sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana >yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan >ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya. >dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati, >ialah yang merawat raga >tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian. > >pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba >lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu? > >itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah >sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari >tempat ini >serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya. > >itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara >mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri >setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan >dari segala goda, >di saat itulah sang suksma akan menghampirimu, >dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati > >janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, >bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu >perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka >jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini >jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur >pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini >pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, >yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati >hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu >tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini. > >maka habislah wejangan sang dewaruci, >sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa >terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan >bagaikan kuntum bunga yang telah mekar. >menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta > >dan blassss . . . ! >sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat >kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci > >sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali >siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan > >tancep kayon > >salam,
0 Response for the "Tasawuf Dewa ruci"
Posting Komentar