Pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.
Seni pewayangan dapat digelar dalam bentuk Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk.
Semasa Sri Susuhunan X di Solo didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.
Seniman cina yang berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina.
Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).
Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput
Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan sibolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan.
Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia jawa dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan"
-
Welcome to my life
Di sini anda bisa berpikir.. bebas untuk berpendapat secara logika.. silahkan pahami karya-karyaku ini... ku persembah kan ini untk mu teman.. T E M A N……… Teman, kata sederhana yang tidak mudah ditemukan dalam kenyataan Teman, tak semua yang dekat bisa berlabelkannya Teman, ada kerinduan untuk selalu dapat bertemu dengan sosok sepertinya Pernahkah kau temukan seseorang yang senantiasa setia di sisimu kala kau jatuh dan hilang asa. Pernahkah kau dapati sesosok makhluk yang selalu tahan mendengar kisahmu kala angin membawa berita-berita busuk tentangmu. Pernahkah handphone berdering di tengah malam, hanya untuk sebuah kalimat pendek “Apa Kabar Imanmu Malam ini ?” Pernahkah kau tangkap butiran air mata yang disembunyikan, sehabis doa panjang yang padanya terselip namamu. Dialah teman sejatimu salam cinta ==================================== BY KATA TUHAN
Sebelum membahas Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen, saya akan memperjelas dulu pengertian Ilmu Gaib yang kita pakai sebagai istilah di sini. Ilmu Gaib adalah kemampuan melakukan sesuatu yang tidak wajar melebihi kemampuan manusia biasa, sering juga disebut sebagai Ilmu Metafisika, Ilmu Supranatural atau Ilmu Kebatinan karena menyangkut hal-hal yang tidak nampak oleh mata. Beberapa kalangan menganggap Ilmu Gaib sebagai hal yang sakral, keramat dan terlalu memuliakan orang yang memilikinya, bahkan menganggap wali atau orang suci.
Perlu saya terangkan, bahwa keajaiban atau karomah yang ada pada Wali (orang suci kekasih Tuhan) tidak sama dengan Ilmu Gaib yang sedang kita pelajari. Wali tidak pernah mengharap mempunyai keajaiban tersebut. Karomah itu datang atas kehendak Allah karena mereka adalah orang yang sangat saleh dan rendah hati. Sementara kita adalah orang yang meminta kepada Allah agar melimpahakan kekuasaan-Nya untuk keperluan kita.
Dalam hasanah perkembangan Ilmu Gaib di Indonesia, kita mengenal dua aliran utama yaitu Aliran Hikmah dan Aliran Kejawen. Aliran Hikmah berkembang di kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan bersumber dari Al-Quran). Sedangkan aliran Kejawen yang ada sekarang sebetulnya sudah tidak murni kejawen lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi islam. Mantranya pun kebanyakan diawali dengan basmalah kemudian dilanjutkan dengan mantra jawa. Oleh kerena itu, saya menyebutnya Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen.
Aliran Islam Kejawen
Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen bersumber dari alkulturasi (penggabungan) budaya jawa dan nilai-nilai agama islam. Ciri khas aliran ini adalah doa-doa yang diawali basmalah dan dilanjutkan kalimat bahasa jawa, kemudian diakhiri dengan dua kalimat sahadad. Aliran Islam Jawa tumbuh syubur di desa-desa yang kental dengan kegiatan keagamaan (pesantren yang masih tradisional).
Awal mula aliran ini adalah budaya masyarakat jawa sebelum islam datang yang memang menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan suparantural. Para pengembang ajaran islam di Pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagi senjata dakwah.
Para Wali menyusun ilmu-ilmu Gaib dengan tatacara lelaku yang lebih islami, misalnya puasa, wirid mantra bahasa campuran arab-jawa yang intinya adalah do'a kepada Allah. Mungkin alasan mengapa tidak disusun mantra yang seluruhnya berbahasa Arab adalah agar orang jawa tidak merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal.
Di Indonesia, khususnya orang jawa, pasti mengenal Sunan Kali Jaga (Raden Said). Beliau inilah yang paling banyak mewarnai paham islam-kejawen yang dianut orang-orang jawa saat ini. Sunan Kali jaga menjadikan kesenian dan budaya sebagai kendaraan dakwahnya. Salah satu kendaran Sunan Kali Jaga dalam penyebaran ajarannya adalah melalu tembang / kidung. Kidung-kidung yang diciptakannya mengandung ajaran ketuhanan dan tasawuf yang sangat berharga. Ajaran islam yang luwes dan menerima berbagai perbedaan.
Bahkan Sunan Kali Jaga juga menciptakan satu kidung "Rumeksa Ing Tengah Wengi". Kidungan tersebut, menurut pemahaman kebanyakan orang kejawen bisa disebut sebagai Ilmu Gaib atau Ilmu Supranatural, karena ternyata orang yang mengamalkan kidung ini memiliki berbagai kemampuan supranatural
Puasa dan tapa adalah dua hal yang sangat penting bagi peningkatan spiritual seseorang. Disemua ajaran agama biasanya disebutkan tentang puasa ini dengan berbagai versi yang berbeda.
Menurut sudut pandang spiritual metafisik, puasa mempunyai efek yang sangat baik dan besar terhadap tubuh dan fikiran. Puasa dengan cara supranatural mengubah sistem molekul tubuh fisik dan eterik dan menaikkan vibrasi/getarannya sehingga membuat tubuh lebih sensitif terhadap energi/kekuatan supranatural sekaligus mencoba membangkitkan kemampuan indera keenam seseorang. Apabila seseorang telah terbiasa melakukan puasa, getaran tubuh fisik dan eteriknya akan meningkat sehingga seluruh racun,energi negatif dan makhluk eterik negatif yang ada didalam tubuhnya akan keluar dan tubuhnya akan menjadi bersih. Setelah tubuhnya bersih maka roh-roh suci pun akan datang padanya dan menyatu dengan dirinya membantu kehidupan nya dalam segala hal.
Didalam peradaban/tradisi pendalaman spiritual ala kejawen, seorang penghayat kejawen biasa melakukan puasa dengan hitungan hari tertentu (biasanya berkaitan dengan kalender jawa). Hal tersebut dilakukan untuk menaikkan kekuatan dan kemampuan spiritual metafisik mereka dan untuk memperkuat hubungan mereka dengan saudara kembar gaib mereka yang biasa disebut SADULUR PAPAT KALIMA PANCER.
apapun nama dan pelaksanaan puasa, bila puasa dilakukan dengan niat yang tulus, maka tak mungkin akan membuat manusia yang melakoninya celaka. Bahkan medis mampu membuktikan betapa puasa memberikan efek yang baik bagi tubuh, terutama untuk mengistirahatkan oragan-oragan pencernaan.
Intinya adalah ketika seseorang berpuasa dengan ikhlas, maka orang tersebut akan terbersihkan tubuh fisik dan eteriknya dari segala macam kotoran. Ada suatu konsep spiritual yang berbunyi “matikanlah dirimu sebelum engkau mati”, arti dari konsep tersebut kurang lebih kalau kita sering ‘menyiksa’ tubuh maka jiwa kita akan menjadi kuat. Karena yang hidup adalah jiwa, raga akan musnah suatu saat nanti. Itulah sedikit konsep spiritual jawa yang banyak dikenal. Para penghayat kejawen telah ‘menemukan’ metode-metode untuk membangkitkan spirit kita agar kita menjadi manusia yang kuat jiwanya dan luas alam pemikirannya, salah satunya yaitu dengan menemukan puasa-puasa dengan tradisi kejawen. Atas dasar konsep ‘antal maut qoblal maut’ diatas puasa-puasa ini ditemukan dan tidak lupa peran serta para ghaib, arwah leluhur serta roh-roh suci yang membantu membimbing mereka dalam peningkatan spiritualnya.
>>> Macam-macam puasa ala Kejawen :
1. Mutih
Dalam puasa mutih ini seseorang tdk boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tdk boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dll.) jadi betul-betul hanya nasi putih dan air puih saja. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya dan membaca mantra ini : “niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahirdipun ijabahi gusti allah.”
2. Ngeruh
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya boleh memakan sayuran / buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur dsb.
3. Ngebleng
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.
4. Pati geni
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa Ngebleng. Perbedaanya ialah tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang yang melakukan puasa Patigeni ingin buang air maka, harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya). Ini adalah mantra puasa patigeni : “niat ingsun patigeni, amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni genine napsu angkara murka krana Allah taala”.
5. Ngelowong
Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas Seseorang yang melakoni puasa Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.
6. Ngrowot
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan itu saja! Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.
7. Nganyep
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Mutih , perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.
8. Ngidang
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.
9. Ngepel
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.
10. Ngasrep
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari.
11. Senin-kamis
Puasa ini dilakukan hanya pada hari senin dan kamis saja seperti namanya. Puasa ini identik dengan agama islam. Karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya.
12. Wungon
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.
13. Tapa Jejeg
Tidak duduk selama 12 jam
14. Lelono
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh (waktu ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).
15. Kungkum
Kungkum merupakan tapa yang sangat unik. Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi yang dahsyat dalam melakukan tapa ini. Tatacara tapa Kungkum adalah sebagai beikut :
a) Masuk kedalam air dengan tanpa pakaian selembar-pun dengan posisi bersila (duduk) didalam air dengan kedalaman air se tinggi leher.
b) Biasanya dilakukan dipertemuan dua buah sungai
c) Menghadap melawan arus air
d) Memilih tempat yang baik, arus tidak terlalu deras dan tidak terlalu banyak lumpur didasar sungai
e) Lingkungan harus sepi, usahakan tidak ada seorang manusiapun disana
f) Dilaksanakan mulai jam 12 malam (terkadang boleh dari jam 10 keatas) dan dilakukan lebih dari tiga jam (walau ada juga yang memperbolehkan pengikutnya kungkum hanya 15 menit).
g) Tidak boleh tertidur selama Kungkum
h) Tidak boleh banyak bergerak
i) Sebelum masuk ke sungai disarankan untuk melakukan ritual pembersihan (mandi dulu)
j) Pada saat akan masuk air baca mantra ini :
“ Putih-putih mripatku Sayidina Kilir, Ireng-ireng mripatku Sunan Kali Jaga, Telenging mripatku Kanjeng Nabi Muhammad.”
k) Pada saat masuk air, mata harus tertutup dan tangan disilangkan di dada
l) Nafas teratur
m) Kungkum dilakukan selama 7 malam biasanya
16. Ngalong
Tapa ini juga begitu unik. Tapa ini dilakuakn dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di dahan pohon dan posisi kepala di bawah (seperti kalong/kelelawar). Pada saat menggantung dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan nafas. Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa Ngrowot.
17. Ngeluwang
Tapa Ngeluwang adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Tapa Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan gaib dan menghilangkan sesuatu. Tapa Ngeluwang adalah tapa dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Setelah seseorang selesai dari tapa ini, biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti arwah gentayangan, jin dlsb). Sebelum masuk kekubur, disarankan baca mantra ini :
“ Niat ingsun Ngelowong, anutupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang ganggu maang jiwa insun, lebur kaya dene banyu krana Allah Ta’ala.”
Dalam melakoni puasa-puasa diatas, bagi pemula sangatlah berat jika belum terbiasa. Oleh karena itu disini akan dibekali dengan ilmu lambung karang. Ilmu ini berfungsi untuk menahan lapar dan dahaga. Dengan kata lain ilmu ini dapat sangat membantu bagi oarang-orang yang masih ragu-ragu dalam melakoni puasa-puasa diatas. Selain praktis dan mudah dipelajari, sebenarnya ilmu lambung karang ini berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang kebanykan harus ditebus/dimahari dengan puasa. Selain itu syarat atau cara mengamalkannyapun sangat mudah, yaitu :
1. Mandi keramas/jinabat untuk membersihkan diri dari segala macam kekotor
2. Menjaga hawa nafsu.
3. Baca mantra lambung karang ini sebanyak 7 kali setelah shalat wajib 5 waktu, yaitu :
Bismillahirrahamanirrahim
Cempla cempli gedhene
Wetengku saciplukan bajang
Gorokanku sak dami aking
Kapan ingsun nuruti budine
Aluamah kudu amangan wareg
Ngungakna mekkah madinah
Wareg tanpa mangan
Kapan ingsun nuruti budine
Aluamah kudu angombe
Ngungakna segara kidul
Wareg tanpa angombe
Laailahaillallah Muhammad Rasulullah
Selain melakoni puasa-puasa diatas masyarakat kejawen juga melakukan puasa-puasa yang diajarkan oleh agama islam, seperti puasa ramadhan, senin kamis, puasa 3 hari pada saat bulan purnama, puasa Nabi Daud AS dll. Inti dari semua lakon mereka tujuannya hanya satu yaitu mendekatkan diri dengan Allah SWT agar diterima iman serta islam mereka.
JAWA dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa , ular-ular ( putuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan,khususnya di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo).
Dalam pertunjukan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya" ,isi ini tak lain adalah isi dari Kalimat Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini di antaranya :
Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, yang dilanjutkan dengan,
Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore : Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun islam (yang lima) dan Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno , berarti, tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan salat lima waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan agama,menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana,hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhingKinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh.Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama islam tentu dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada masanya.
Ada banyaknya filsafat Jawa yang berusaha diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam mengajarkan agama selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama islam . Sistem politik Aja Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh para dunan..
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta,Samudra,Dahana dan Bhumi.
1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini ,sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.
Masih banyak filsafat Jawa yang mungkin, tidak dapat diuraikan satu persatu, terlebih keinginan saya bukan untuk banyak membahas hal ini, mengingat ini bukan bidang saya, namun kami hanya ingin memberikan suatu wacana umum kepada pembaca, bahwa, banyak sekali ilmu yang dapat kita gali dari budaya (Jawa) kita saja, sebelum kita menggali budaya luar terlebih hanya meniru (budaya luar)-nya saja.
Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al-nuzûl merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Asbâb al-nuzûl juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu.
Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama (Islam ) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.2
Pada perkembangan selanjutnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut. Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus diterapkan di semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan. Sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan aplikasi dari ketentuan yang sudah ada. Hal ini karena masing-masing umat islam memiliki budaya yang berbeda, hasil akhirnya ditentukan oleh kreatifitas masyarakat dalam mendialogkan kebudayaan mereka dengan ajaran agama yang diyakininya.
Di sisi lain terdapat pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan antara Islam sebagai agama dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya memilah antara mana yang merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang telah berakulturasi dengan budaya Arab. Islam adalah agama universal sehingga ajarannya harus bisa diterapkan di manapun dan pada waktu kapan pun.
Atas dasar inilah, pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul termasuk di Indonesia. NU merupakan salah satu representasi dari ummat Islam di Indonesia yang memiliki kecenderungan untuk senantiasa mensinergikan ajarana agama (Islam) dengan budaya lokal dengan mengusung terma al-muhâfazat ‘alâ qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan pemikiran ke-Islam-an yang berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal Nusantara. NU senantiasa memposisikan diri sebagai ‘jangkar’ Nusantara. Memperbincangkan sikap akomodatif NU terhadap tradisi atau budaya lokal sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru.
Sudah banyak tulisan-tulisan yang mengupas soal tradisi atau budaya lokal yang menjadi basis kekuatan NU. Namun, dalam pendangan penulis topik seputar hubungan NU dengan budaya atau tradisi lokal tetap aktual, mengingat dua hal berikut: pertama, sikap akomodatif NU terhadap budaya atau tardisi lokal bersifat dinamis. Kedua, saat ini banyak kalangan umat Islam di luar NU, khususnya yang berideologi puritanisme ala Wahabi yang sangat gencar “menyerang” ritual keagaman yang dianut kaum nahdliyyin.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraikan ihwal sikap akomodatif NU yang berbasis pesantren terhadap budaya lokal dalam konteks kehidupan kegamaan dan kebangsaan yang menjadi landasan ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.
B. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di Indonesia : Perspektif Historis
Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan yang tak pernah usai. Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani agamanya: shalihun li kulli zaman wa makan—selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Maka Islam akan senatiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks. Dan fakta yang takbisa dipungkiri, kehadiran Islam tersebut dalam setiap konteks tertentu; tak nihil dari muatan-muatan lokal yang mendahului kehadiran Islam.
Dalam ungkapan yang lebih bernas, Islam tidak datang ke sebuah tempat, dan di suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mawin antara Islam dengan muatan-muatan lokal.
Di sisi lain, Islam merupakan agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.3 Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan “pribumisasi Islam”.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.4
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.5
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.
Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer.6
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang “Arabi-sasi”, mana yang “Islamisasi”. Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran.7 Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata ‘nyembah sang Hyang’) adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata.
Di masa sekarang, khususnya di Jawa, sulit bagi kita untuk menemukan bentuk Islam yang asli dan orisinil. Ini dikarenakan, sebelum Islam masuk ke Indonesia, di Jawa sudah berkembang tradisi Hindu dan kejawen yang angat mengakar kuat di masyarakat. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi pekembangan penyebaran Islam. Model dakwah kultural dengan cara damai yang dikembangkan oleh para penyebar agama Islam sangat berpengaruh pada eksistensi Islam saat ini. Dengan cara mengisi seluruh elemen budaya dam kehidupan dengan nilai-nilai Islam tanpa harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Implikasi logis dari model dakwah tersebut, yakni terjadinya akulturasi Islam dengan budaya lokal.
Saling sapa Islam dengan budaya lokal pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang ke Nusantara. Pedagang menyapa untuk mempromosikan dagangannya sekaligus menawarkan keyakinan keislamannya. Kekuatan ekonomi sebagai simbol kesejahteraan dan keimanan atau kepercayaan sebagai dasar kedamaian didialektikan secara bersamaan oleh para juru dakwah kepada masyarakat.
Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.8
Tiga daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir), Gujarat (India), dan Persia (Iran) tersebut menambah varian akulturasi budaya Islam Nusantara semakin plural. Hal ini bisa dirujuk adanya gelar sultan al-Malik bagi raja kesultanan Samudra Pasai. Gelar ini mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir yang memegang madzhab syafi’iah, gaya batu nisan menunjukkan pengaruh budaya India, sedangkan tradisi syuroan menunjukkan pengaruh budaya Iran atau Persia yang syi’ah.9 Budaya Islam Nusantara memiliki warna pelangi.
Di saat para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat memberikan sapaan sosiologis terhadap komunitas Nusantara dan mendapatkan respon yang cukup besar sehingga memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur.
Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik” hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan” kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budhis yang kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa10 yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang kuat.
Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan Persia dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas.11
Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain.
Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam me-mahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau12 yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya.
Persinggungan Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu.
Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.13 Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.14
Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena perang saudara tersebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun. Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa.
Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya.15
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya.
Faktor fisiologis mempengaruhi watak psikologis dan sosialnya.16 Begitu juga letak geografis, tingkat kesuburan, dan kesejukan pulau Jawa akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dan bersikap. Siapapun yang ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan karakteristik ini sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan dengan baik dan efektif.
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya17 yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.
Islam kejawen dipandang sebagai Islam berkualitas rendah atau semi-Islam karena simbol Jawa lebih dominan daripada simbol Arab, mencampuradukan Islam dengan berbagai keyakinan dan ekspresi lokal, serta orientasi keagamaannya cenderung pada mistik dan panteistik.18
Islam istana juga memiliki gambaran yang hampir sama berbeda dengan muslim sejati, yaitu kaum santri yang dalam perilaku dan simbol keberagamaannya lebih bernuansa Arab meskipun pakaian dan bahasa kesehariannya tetap Jawa.
Jika ditelusuri lebih jauh, pada masa perumusan dan pelembagaan budaya Jawa (abad ke-19), hal terpenting yang dicatat oleh MC. Ricklefs adalah pengaruh Islam yang besar pada wacana yang berkembang. Islam, menurutnya, membentuk satu substansi utama dalam proses kebangkitan budaya Jawa. Bersama dengan tradisi Jawa pra-Islam yang bersifat Hindu-Budhis.
Islam memberikan landasan nilai dan etik bagi bangunan sistem budaya Jawa yang dirumuskan. Islam dan ke-Jawa-an yang sering dianggap bertentanggan, justru memperlihatkan satu kesesuaian yang harmonis. Keduanya saling membentuk paradigma baru bagi kebangkitan budaya Jawa bersamaan dengan perkembangan dan pelembagaan Islam secara intensif dalam kehidupan masyarakat.19
Islam sebagai entitas yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan usianya maupun karena persentuhannya dengan berbagai budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing. Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis di mana dia hidup.
Perbedaan keberagamaan Muslim Jawa sesungguhnya bukan pada otentisitas, tetapi lebih pada cara pandang pemeluk Muslim terhadap teks kitab suci agamanya. Jadi, permasalahanya adalah bagaimana kitab suci itu dibaca dan berdialog dengan kasus aktual dan tradisi setempat. Saling menyapa ini membentuk sikap akomodatif dan arif terhadap budaya lokal yang karena kreativitas terbangun berbagai budaya yang terekspresikan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat Jawa.
Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang cukup penting adalah lahirnya unsur tradisi keagamaan santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan santri ini bersama dengan unsur pesantren dan kyai ini telah menjadi inti terbentuknya tradisi besar (Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasi antara tradisi Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain itu, islamisasi di Jawa juga telah melahirkan sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan keduanya, yaitu tradisi santri dan tradisi kraton sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.
HJ. Benda menyebutkan bahwa proses islamisasi di Jawa telah melahirkan peradaban santri (santri civilization), yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama, masyarakat, dan politik.20 Sementara Clifford Geertz memandang memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa yang disebut santri, yang berbeda dengan tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu Abangan dan Priyayi.21
Tradisi sosio-kultural santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran syari’at agama, sementara tradisi Abangan, ditandai dengan orientasi kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi Priyayi lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi Hindu-Jawa.22
Selain interaksi sosial secara langsung sebagaimana telah disebutkan, sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Jawa juga terbentuk karena model dan bentuk transmisi keilmuan yang dipilih di pesantren. Transmisi keilmuan Islam di antaranya dengan melakukan kajian terhadap Kitab Kuning yang ditulis oleh ulama Timur Tengah, Andalusia (Spanyol), dan ulama lain dari beberapa negara yang diakui oleh ulama pesantren yang disebut sebagai “kitab kuning” yang bisa dijadikan referensi karena telah teruji dapat memberikan alternatif pemecahan masalah yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah.
Kitab Kuning yang memenuhi persyaratan ini disebut dengan al-kutub al-mu’tabarah yang dijadikan sebagai kurikulum wajib di beberapa pesantren.23 Dengan menggunakan Kitab Kuning sebagai referensi secara tidak langsung pesantren telah menerima pemikiran ulama dari berbagai daerah yang jelas diyakini terpengaruh oleh budaya lokal di mana ulama tersebut hidup, belajar, dan memperoleh pengalaman spiritual. Di sisi lain, kiai yang hidup dalam lingkungan Jawa akan berinteraksi secara langsung dengan budaya lokal di luar Jawa melalui kajian kitab kuning sekaligus melakukan interaksi dengan buadaya lokal Jawa melalui hubungan perkawinan, interaksi sosial, ekonimi, dan politik dalam kehidupan sehari-hari.
Kajian terhadap kitab kuning ini terus berlangsung dan berdialog dengan budaya dan politik lokal. Secara politik Islam dan Jawa berdialog lewat pendirian kesultanan Islam di Jawa, sebagaimana kata Diponegoro24 yang berulang-ulang mengemukakan bahwa tujuan mendirikan negara agama (Islam) di Jawa adalah mangun luhuripun agami Islam ing Tanah Jawa, membangun citra luhur agama Islam di Jawa.
Beragama baginya sama artinya dengan membentuk keluhuran budi pekerti manusia, di samping menjadikan orang sebagai Muslim yang baik dengan melaksanakan tugas-tugas yang lebih khusus, misalnya mematuhi kelima rukun Islam. Pandangan seperti ini dipengaruhi oleh kajian keislaman ala kitab kuning yang dipelajari lewat para kiai pesantren.
Dialog demikian terus terjadi dan membuahkan kearifan lokal (local wisdom) atau kearifan tradisional, yaitu sebuah wawasan yang memuat kebijaksanaan orang Jawa dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Kearifan tradisional tersebut biasanya bersumber dari wawasan batin para cendikiawan terdahulu,25 yang telah ber-singgungan dengan nilai-nilai Islam dalam literatur klasik (Kitab Kuning) dan Jawa.
Jargon yang ada di pesantren al-muhâfadhah ala al-qadîm al-shâlih wa al-ahd bi al-jadîd al-ashlâh (mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi atau budaya baru yang lebih baik) merupakan model pesantren dalam mengembangkan harmoni yang sehat dengan budaya lokal, meskipun selama ini masih belum berjalan dengan sempurna.
Untuk menjaga harmonitas tersebut, pesantren menjadi akomodatif terhadap budaya setempat dan kurang memiliki greget pengembangan, sedangkan penghormatan terhadap tradisi dan pemikiran masa lalu membuat pesantren merasa gamang untuk mempelopori perubaan dan pengembangan budaya atau tradisi baru yang lebih konstruktif.
Sebagai contoh sikap akomodatif dan permisif terhadap budaya lokal adalah apa yang ceritakan oleh Saifuddin Zuhri26 bahwa kalangan pesantren, menonton wayang kulit hampir tidak pernah dipertentangkan apa hukumnya, haram atau boleh.
Ada yang mengambil sikap tidak boleh, tidak dijelaskan sampai tingkat apa ketidakbolehannya, apakah haram atau makruh, dengan dalil mendengarkan bunyi-bunyian yang mengasyikkan hingga terlengah dari ingat kepada Allah (dzikrullah), padahal tidak ingat kepada Allah hukumnya haram. Lagi pula bercampur-baurnya antara penonton pria dan wanita di waktu malam, bisa menjurus pada perbuatan maksiat. Ada juga yang mengambil pendirian boleh karena konon wayang adalah ciptaan para Wali (Wali Songo) dalam mengasimilasi ajaran agama Hindu ke dalam Islam.
Lagi pula orang bisa mengambil intisari pelajaran yang ada dalam lakon-lakon wayang. Dalam cerita Pandawa membangun sebuah candi selalu mengalami kehancuran, pagi dibangun sore harinya roboh, sore dibangun pagi harinya juga roboh. Setelah diteliti, ternyata ada sesuatu sarana paling fundamental yang terlupakan, yaitu tidak ikut disertakannya jimat kalimasodo (kalimah syahadat). Pasal nonton wayang kulit tidak pernah dipertentangkan bagaimana mengenai hukumnya.
Dalam kasus tentang menonton wayang sebagai bagian dari budaya lokal, Saifuddin Zuhri menunjukkan tentang bagaimana tradisi pesantren dalam memegangi hukum asal sesuatu adalah mubah, boleh sehingga ada alasan (‘illat) yang mengharamkannya. Hukum itu bergantung pada alasan yang mendasarinya (al-hukmu yadurru ma’a illatihi).
Untuk itu, dalam hal menonton wayang seorang muslim harus pandai mengambil intisari atau hikmah dari cerita wayang yang di-lakon-kan oleh dalang sekaligus menghindari hal-hal yang menyebabkan keharamannya seperti bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan saat menonton wayang.
Realitasnya, menonton wayang bagi masyarakat Jawa mengalami kesulitan untuk menghindarkan dari percampuran laki dan perempuan, terbukanya aurat bagi pesinden, dan minuman keras atau perjudian. Mendiamkan seperti ini memang terlahir kondisi harmonis, tetapi kemungkaran tetap berjalan dengan perubahan yang amat lambat.
Sikap demikian akomodatif ini, menurut Kuntowijoyo disebabkan karena pada umumnya umat Islam (Jawa) mengkaji Kitab Kuning yang merupakan kodifikasi dari al-Quran dan al-Sunnah. Menurut Kuntowijoyo, hasil dari kodifikasi itulah yang dipakai alat untuk berpikir, berkata, dan berbuat. Dekodifikasi di samping sifat positifnya, yaitu terjaganya hubungan antar-teks, juga mempunyai sifat-sifat negatif yang akan terjadi. Sifat negatif itu ialah involutif dan ekspansif. Involutif adalah gejala perkembangan ilmu yang semakin renik.
Di pesantren ada kebiasaan untuk mengembangkan pengetahuan dengan menulis buku-buku syarh (pembabaran terhadap kitab induk atau matan) dan hasyiyah (penjelasan terhadap syarh). Tradisi keilmuan seperti ini menunjukkan bahwa ukuran kesempurnaan penguasaan ilmu adalah pengembangan dari buku-buku lama yang sudah dianggap sudah mencapai standar (al-kutub al-mu’tabarah), tidak dalam pengembangan ilmu-ilmu dan pemikiran baru.
Di sisi lain, akibat involusi itu terbentuk sikap hormat yang berlebih-lebihan pada guru atau kiai sebagai pemegang otoritas ilmu. Involusi itu juga mengakibatkan tertutupnya pintu ijtihad karena orang dibuat tidak berani berpikir independen, lepas dari otoritas. Suatu ilmu, misalnya fiqh, sudah dianggap final sehingga orang hanya harus taqlid. Involusi ilmu ditunjukkan pada penguasaan kitab ad verbatim, kata demi kata bahkan secara hafalan di luar kepala. Ini berarti bahwa tuntutan terpenting bagi santri ialah pada hafalan tidak pada analisis.27
Dunia pendidikan pesantren yang mewakili masyarakat muslim tradisional, menurut Kuntowijoyo, selama ini mengembangkan ilmu-ilmu Islam hanyalah dengan kodifikasi (penjabaran, penafsiran, sistematisasi) dari teks-teks al-Qur’an dan Hadis. Teks-teks dikodifikasi menjadi teks baru, yaitu ilmu-ilmu Islam. Dekodifikasi adalah gerak dari teks ke teks. Sementara di dunia luar pesantren pada tahun 1980-an ada gagasan islamisasi ilmu. Ilmu-ilmu yang sudah ada “diislamkan” dengan mengembalikannya pada teks-teks Islam. Islamisasi ilmu adalah gerak dari konteks ke teks.
Perkembangan baru, yang diinginkan Kuntowijoyo adalah timbulnya ilmu-ilmu sosial yang mencoba menterjemahkan teks-teks Islam (al-Qur’an, Hadis, Tafsir, Fiqh, Tasawuf) dalam dunia nyata, dalam hidup sehari-hari, dalam gejala. Jadi, dari teks ke konteks yang ia sebut dengan demistifikasi Islam.28
Tradisi pesantren dikenal sebagai kaum tradisionalis yang akomodatif terhadap budaya lokal meskipun ia secara bersama dengan kaum modernis yang sama-sama santri berusaha memperoleh jati diri sendiri, sehingga mereka tidak tenggelam dalam budaya abangan dan berakibat pengayaan budaya. Pesantren merupakan tempat subur untuk pengembangan budaya dan peradaban Muslim.
Peradaban tauhid (theocentric civilization) bersandar pada ketentuan-ketentuan Tuhan untuk hal-hal primer. Selebihnya, ada kebebasan penuh bagi kreativitas manusia untuk hal-hal yang sifatnya sekunder, seperti urusan teknis, strukturasi politik, dan masalah kebudayaan. Soal kebudayaan ialah akhlaq al-karimah.29 Budaya Jawa diperbolehkan berkembang selama tidak bertentangan dengan peradaban tauhid.
Sikap kompromi terhadap budaya lokal inilah yang oleh orang luar pesantren dimaknai sebagai sikap permisif, tidak tegas, dan bid’ah yang haram dilakukan oleh umat Islam. Sementara oleh kiai dan santri pesantren hal demikian dianggap sebagai suatu pilihan dan pendekatan dalam dakwah dengan pendekatan kultural yang selamanya boleh asal didasarkan pada ahlaqul al-karimah.30 Dalam ke-rangka pikir seperti ini santri pesantren mendasari karakter berpikir, berprilaku, dan mengungkapkan perasaan dan karya-karya tulisnya. Potret santri yang selalu bergumul dengan tradisi masyarakat lokal untuk mengadopsi nilai positif sambil menggelorakan perasaan dan keinginannya untuk bergerak maju menuju peradaban yang dicita-citakan.31
Dalam konteks NU secara umum diktum klasik yang begitu lekat di kalangan nahdliyin adalah merawat tradisi lama yang baik dan mengadaptasi tradisi baru yang lebih baik (al-muhâfadzah ’ala al-qadîm al-shâlih wa al- akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh). Diktum ini menunjukkan komitmen komunitas NU dalam menghargai warisan tradisi, sekaligus pada saat yang sama apresiatif terhadap beragam perubahan yang ada di luarnya.
Inilah yang menjadi strategi budaya NU dalam berkomunikasi dengan realitas tradisi yang ada, termasuk dengan keyakinan lokal yang berkembang. Kemampuan adaptif NU dalam merespons tradisi lokal ini tidak mesti dipahami bahwa NU begitu permissif dengan tradisi-tradisi lokal di mana NU bersemai. Malah sebaliknya harus dilihat sebagai metode dalam menebar ajaran agama dalam komunitas.
Belajar dari strategi akulturatif yang digunakan pendakwah Islam dan para wali di masa lampau menyebarkan Islam, NU sangat sadar bahwa kebijaksanaan lokal bukan suatu yang harus dihindari, malah seharusnya dijadikan medium kultural dalam menebarkan ajaran agama. Ajaran Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan agar mendakwahkan ajaran agama sesuai dengan nalar dan kosmologi mereka (khatibinnas ‘ala qadri ‘uqulihim), oleh kalangan NU dipegangi dan dimanfaatkan sedemikian rupa dalam berdakwah. Karena, bagaimana mungkin menanamkan ajaran agama dengan sesuatu yang asing dengan tata cara masyarakat setempat.
Hal ini juga disampaikan oleh Ahmad Shiddiq.
Menurutnya, Islam tidak serta merta apriori menolak tradisi lama, juga tidak menentang, apalagi menghapuskan sama sekali. Islam, dan NU menganutnya, justru bersikap akomodatif, selektif, dan proporsional.32 Akomodatif yang dimaksud adalah bahwa Islam dibenarkan menerima tradisi lokal, namun ia juga selektif dalam arti bahwa tidak semua tradisi lokal diakomodasi, tetapi tradisi lokal yang ‘baik’ saja (al-qadîm al-shâlih) yang mungkin diterima. Sementara penerimaannya pun harus proporsional. Dengan demikian, afirmasi NU terhadap tradisi lokal pun bersyarat, sepanjang spirit agama itu yang disuntikkan pada tradisi lokal, bukan sebaliknya.
Inilah yang menurut Hasyim Muzadi menjadi keunikan NU. Menurutnya, di antara keunikan NU dibandingkan corak ke-Islaman lain di tanah air adalah cara NU menyikapi adat. NU tidak menolak adat dan tradisi lokal sepanjang cocok dengan tradisi Islam. Salah satu tradisi lokal yang terus dipertahankan hingga kini adalah tahlilan. Selain itu, dalam memahami agama, NU mewarisinya secara intelektual dari para ulama yang secara historis bersambung hingga Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, generasi setelah Rasulullah SAW hingga kini dianggap sebagai referensi intelektual dan moral kalangan Nahdliyin.33 Melalui pesantren, kalangan nahdliyin mengasah otak dan hati untuk terus memperjuangkan tradisi as-salafus shalih hingga senantiasa kontekstual sampai kini. Institusi pesantren inilah yang menjadi pusat pengkajian tradisi Islam dengan segala dinamikanya.
Namun, seringkali sekelompok orang memaknai situasi semacam ini dengan cibiran bahwa NU mengapresiasi dan mencintai klenik, bahkan melabelinya sebagai ahlul bidah’ waz ziyagh. Kelompok ini tidak sadar bahwa melupakan kekayaan tradisi lokal itu merupakan bentuk kepicikan yang mencoba berpikir ahistoris dan mengalami diskontinuitas sejarah.34 Kelompok ini menafikan bahwa Islam hadir ke tanah air melalui negosiasinegosiasi yang terus-menerus, dan di situlah sesungguhnya keunikan Islam Indonesia di bandingkan corak keberagamaan Islam di wilayah lainnya, termasuk dengan Islam Mekkah dan Madinah.
Corak keberislaman di Indonesia yang masih mewarisi produk Islamisasi para pendakwah di masa lampau yang dilakukan para ‘wali’ itu masih terus dilestarikan sebagai ekspresi ke-Islam-an di satu sisi dan ekspresi lokalitas di sisi yang lain.
Ini terlihat dengan corak keberagamaan yang masih mempertahankan tradisi lokal dalam laku kesehariannya. Meskipun sebagai orang Islam, Masyarakat Kampung Naga misalnya masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Dalam memperhitungkan cuaca, mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan posisinya menentukan curah hujan. Mereka juga membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi sekaligus juga mempercayai adanya dewa-dewa diktekapata, somamarocita, angarakata, budhaintuna, laspatimariha, sukramangkara, dan tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam.35
Begitu juga dengan negosiasi tradisi tradisi Islam dengan Ugomo Parmalim di tanah Batak. Parmalim merupakan agama rakyat yang telah berkembang jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Begitu Islam masuk, negosisi dengan tradisi lokal terus berlangsung. Indikasi adanya tawar-menawar tradisi ini terlihat dari bacaan-bacaan doa pembuka dan penutup tabas (mantra) yang menggunakan bacaan yang lebih mirip dengan bacaan Islam. Misalnya, ketika membuka mantra mereka membaca “Binsumillah dirakoman dirakomin” dan penutupnya “Yasa Yasu Yausa.” Terkadang juga membaca dibuka dengan bacaan “Bismillahirrahmanirrahiem” dan ditutup dengan “Borkat Kobul Lailaha Illallah" atau “
Borkat Kobul Baginda Saidina Ali.”36 Begitu juga dengan tradisi Sasak di Nusa Tenggara Barat, Dayak dan Banjar di Kalimantan, Jawa, dan lain sebagainya dengan Islam, tentu memiliki keunikan masing-masing. Belajar dari pengalaman para wali dan pendakwah Islam di masa lampau, corak keberagamaan yang unik yang dianut NU ini merupakan akulturasi beragam tradisi budaya yang ada dan mengemasnya sedemikian rupa dengan senantiasa memanfaatkan tradisi-tradisi lama yang masih baik dan memasukkan tradisi baru yang lebih baik.
Dengan demikian, tradisi keberagamaan NU ini tidak semata-mata copy-paste dari corak keberagamaan yang ada di Timur Tengah. Melainkan produk kreatif dari tradisi intelektual sehingga melahirkan corak tersendiri dalam beragama yang kemudian dikenal dengan Islam Indonesia. Sebuah corak keberagamaan Islam yang mampu berdamai dengan tradisi lokal.
Sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Indonesia merupakan keniscayaan sejarah sebagai akumulasi dari dialog dan sapaan antarbudaya yang dibawa oleh para pedagang muslim yang memiliki karakteristik hidup yang lebih dinamis dibandingkan dengan masyarakat agraris atau petani. Dinamika kehidupan para pedagang dari berbagai daerah (Arab, India, dan Persia) ini membuka keragaman budaya Islam-Indonesia yang kemudian terbangun kuat lewat interaksi perdagangan, perkawinan, dan pewarisan kekuasaan politik di Indonesia.
Dalam konteks kehidupan keagamaan kaum nahdliyyin, sikap akomodatif ini diperkuat lagi dengan tradisi kajian kitab kuning yang menjadi literatur wajib bagi pesantren di lingkungan NU. Penulis kitab kuning yang berasal dari berbagai daerah (khususnya Timur Tengah termasuk Andalusia/Spanyol) telah memberikan kontribusi terhadap akulturasi budaya yang tertulis dalam setiap karya kitab kuning.
Penerimaan ulama atau kiai pada berbagai kitab kuning ini menunjukkan sikap akomodatif ulama atau para wali dan dai yang kemudian mereka teruskan dengan dialog-dialog kehidupan yang rutin dengan komunitas atau warga setempat di Indonesia.
Nahdlatul Ulama pada dasarnya adalah sebuah identitas kultural keagamaan mayoritas umat Islam Nusantara. Identitas kultural keagamaan yang dibangun berdasarkan sendi-sendi wahyu (agama) dan nilai-nilai kearifan lokal dengan berpegang pada filosofi al-muhâfadzah ’ala al-qadîm al-shâlih wa al- akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh.
Sikap akomodatif ini pula yang telah mengantarkan umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia. Tanpa sikap akomodatif seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Indonesia akan terasakan begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan dengan watak sosiologis dan geografis yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Islam di Indonesia akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya.
Sebaliknya, pembacaan terhadap teks kitab suci yang skripturalis-literalis dan sikap radikal dalam berislam akan membawa kemunduran dalam memperjuangkan nilai Islam. Islam rahmatan lil ’alamin selalu membawa kedamian. Dengan demikian sikap akomodatif dalam artinya yang positif menjadi pra-syarat untuk memajukan Islam di Indonesia. (dari buntet pesantren)
Sampai kini kita sepakat bahwa para propagandis Islam paling berhasil sepanjang sejarah Nusantara adalah ulama-ulama legendaris yang kelompoknya lazim disebut sebagai Wali Songo. Meski mereka tidak bisa sepenuhnya dipandang sebagai kelompok yang utuh, dalam artian memiliki komando dan aturan bersama yang jelas dan teratur, namun cara mereka berdakwah menunjukkan modus yang hampir mirip, yakni menekankan hibridisasi antara nilai-nilai keislaman dengan budaya dan kearifan lokal.
Ada yang memanfaatkan wayang kulit untuk upaya publikasi dan edukasi nilai-nilai keislaman, ada juga yang memakai alat musik untuk merayu orang masuk ke masjid, bahkan ada yang berpartisipasi dalam sabung ayam demi mendapat nilai-nilai ketokohan dalam masyarakat, sehingga lebih mudah untuk memengaruhi orang lain. Pola-pola seperti ini sebetulnya bukanlah hal yang aneh jika kita melihat fakta begitu beragamnya corak keislaman di berbagai penjuru dunia. Mungkin karena faktor kemajemukan sub kultur Nusantaralah yang membuat proses ini terlihat begitu mencolok. Sebetulnya sejak zaman Nabi pun proses seperti sudah terjadi dengan sendirinya.
Teknik “persilangan” ini, karena menekankan pada simbol-simbol kebudayaan lokal, kemudian menghasilkan corak keberagamaan yang unik dan khas dari masyarakat kita. Banyak contoh yang bisa diambil untuk menggambarkan hal ini. Misalnya istilah “sembahyang”, “puasa”, “sekaten”, merupakan pengaruh dari ritual keagamaan pra Buda dan Hindu di Nusantara. Pemisalan lain, sarung, bentuk masjid yang tak berkubah, bedug, dan banyak hal lain, merupakan entitas yang khas Nusantara. Melihat fakta ini, maka bukan kebetulan dan tidak mengherankan jika pesantren-pesantren yang berumur cukup tua lebih suka mengambil nama lokal, dan bukan dari bahasa Arab. Tengok saja nama-nama seperti Tebuireng, Ngalah, Lirboyo, Buntet, dan sebagainya.
Gerakan Wahabi di Indonesia
Hibridisasi Islam dan lokalitas tersebut berjalan mulus sampai munculnya corak-corak baru yang mengusung semboyan purifikasi agama ala Wahabi. Setahu saya gerakan yang dikomandoi Imam Bonjol bisa dikatakan sebagai generasi awal dalam hal ini. Imdadun Rakhmat bahkan mengatakan bahwa upaya purifikasi sebenarnya telah diusahakan oleh Nuruddi al-Raniri terhadap pola religiusitas ala Hamzah Fansuri yang berhaluan tasawuf. Dalam bentuk organisasi, pola keberagamaan ala Wahabi ini sempat diteruskan oleh organisasi Muhamadiyah.
Tanpa melihat setting sejarah seperti ini kita akan kesulitan memahami mengapa Nahdatul Ulama (NU) yang secara genealogis jauh lebih tua, namun secara organisasi usianya justru lebih muda ketimbang Muhamadiyah. Karena secara organisasi NU memang lahir sebagai reaksi atas usaha purifikasi yang dilancarkan oleh Muhamadiyah. Saat ini Muhamadiyah sudah bersifat lebih terbuka. Mereka tidak lagi terlalu memermasalahkan soal-soal seperti ziarah kubur atau tahlil, paling tidak pada tingkatan organisasinya.
Namun tidak berarti dengan lebih terbukanya Muhamadiyah upaya purifikasi ala wahabi ini tak lagi terjadi. Saat ini justru bermunculan organisasi-organisasi, baik yang berbentuk ormas atau pun partai politik, bercorak wahabi yang melakukan upaya yang cukup gencar. Pada umumnya mereka banyak menonjolkan simbol-simbol kearaban yang dianggapnya bersifat Islam, seperti memelihara jenggot, rajin memakai istilah berbahasa Arab, seperti “ana”, atau “antum”, sampai pewajiban cadar bagi perempuan. Dalam kajian-kajian keislaman, faham-faham semacam ini dinamai dengan istilah-istilah seperti fundamentalisme, revivalisme, dan lain sebagainya.
Pasca kemerdekaan Mohammad Natsir tercatat sebagai tokoh yang bisa dianggap memberikan ruang-ruang baru bagi para revivalis Islam. Salah satu “buah karya” Natsir yang masih langgeng hingga saat ini adalah forum-forum Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang tersebar di berbagai perguruan tinggi (Imdad, 2008). Forum-forum semacam ini bahkan sudah sejak lama melakukan infiltrasi ke sekolah-sekolah, terutama sekolah umum, melalui bentuk Rohis.
Secara umum saya menganggap bahwa upaya purifikasi kehidupan keagamaan sangat kental dengan pengidentikkan simbol-simbol keislaman sebagaimana berlaku di tanah Arab. Hal ini bukan saja hendak menafikkan unsur-unsur lokalitas dalam nilai keagamaan, tapi juga meloloskan nilai historis dan kontekstualisasi Islam. Dengan pola semacam ini, tak heran banyak orang menganggap bahwa kelompok-kelompok revivalis memiliki agenda tersembunyi untuk mengubah wajah negara dan masyarakat setempat secara radikal, sesuai dengan corak keislaman yang mereka anut. Hal ini justru sering diafirmasi dengan kampanye syariat Islam, sistem kekhalifahan, serta hal-hal semacamnya, yang sering mereka dengungkan. Pandangan semacam ini seringkali menyulut kerenggangan hubungan antara umat Islam dengan negara. Pada era orde baru hal ini pernah terjadi cukup lama.
Menolak arabisme Islam
Kenapa harus menolak Arabisasi Islam? Secara pribadi saya memiliki beberapa alasan untuk melakukannya. Meski begitu alasan-alasan ini saya usahakan agar bisa dipertanggungjawabkan secara argumentatif, sehingga tidak berhenti sekadar sentimen belaka.
Kemajemukan tradisi Nusantara adalah alasan pertama. Sejarawan Agus Sunyoto mengatakan bahwa Islam telah menyapa Nusantara jauh sebelum era Wali Songo, namun ajaran ini perlu menunggu kehadiran mereka untuk membuatnya jadi ajaran yang populis. Strategi hibridisasi nilai-nilai Islam dengan budaya setempat yang digagas oleh Wali Songo terbukti hingga saat ini masih menjadi cara yang paling efektif.
Pada awal abad 20, ketika tokoh seperti Soekarno dan Hatta, bahkan Tan Malaka, belum sempat berpikir tentang sebuah entitas bernama Indonesia, KH. Hasyim Asyari dengan sadar sudah memiliki gambaran tentang wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Hal ini bisa dijadikan ilustrasi untuk menakar seberapa besar pengaruh Wali Songo di Nusantara.
Kemajemukan nilai-nilai tradisi ini merupakan sebuah nilai yang disadari. Hal ini membuat setiap pengaruh kebudayaan yang masuk ke Nusantara akan terlebih dahulu mengalami negosiasi dengan tradisi lokal sebelum mendapatkan tempat dengan baik (Masdar F. Masudi, 2009). Kita bisa melihat ini pada semua agama di Nusantara yang selalu memiliki karakteristik khas dibanding bangsa lainnya. Kemajemukan ini bukanlah hal yang mesti dilawan dengan label tahayul, bidah dan khurafat, tapi diposisikan sebagai sebuah karakter yang memiliki hak hidup dan karenanya mesti diapresiasi, bahkan dirayakan.
Alasan kedua, apresiasi terhadap kemajemukan bukanlah suatu hal yang kasuistik, artinya khusus berlaku untuk bangsa yang plural seperti Indonesia saja. Beberapa hari lalu saya mendengarkan sebuah ceramah dari KH. Masdar F. Masudi. Ia mengangkat satu hadis Nabi yang jarang sekali disebut, paling tidak saya baru kali ini mendengarnya. Secara substansial hedis tersebut mengibaratkan nabi-nabi sebelumnya sebagai sebuah bangunan indah namun kekurangan satu bata. Muhammad mengatakan bahwa dirinyalah bata pelengkap tersebut.
Kerendahhatian Nabi kita ini penting. Ia tidak mengatakan bahwa ajarannya adalah bangunan baru yang lebih indah atau lebih baik, ia seolah hendak menampik anggapan bahwa Islam adalah agama totaliter yang hendak memberangus semua agama dan budaya yang mendahuluinya. Hadis ini seperti semacam garansi tanpa kadaluarsa bagi eksistensi budaya-budaya yang eksis sebelum kehadiran Islam, termasuk yang ada di Nusantara
Alasan ketiga, dalam hal kehidupan berpolitik, sebagaimana disebut sebelumnya, pandangan islamisme yang cenderung wahabistik kerapkali menyulut ketegangan antara umat muslim (baca: kelompok wahabi) dengan Negara, terutama yang menganut demokrasi. Hal ini tentu saja berakar dari pandangan ekslusif dan diskriminatif dari kelompok ini. Kita memang tidak bisa membenarkan kebijakan orde baru yang pernah bersikap keras terhadap umat Islam, tapi fakta ini bisa dijadikan contoh betapa ajaran Islam yang dipresentasikan dengan agresif, bahkan sampai menganjurkan perubahan tata kemasyarakatan dan kenegaraan, dipandang oleh pihak lain sebagai ancaman. Bagimanapun kita tidak sudi agama yang kita yakini dipandang miring oleh orang lain
Saya pikir ketiga alasan itu cukup memberi pijakan, paling tidak bagi saya, untuk menimbang kembali pengaruh wahabisme dalam pemahaman keagamaan kita, serta cara kita memandang budaya Nusantara.
islam adalah ajaran normatif yang berasal dari Tuhan. Ia dapat diakomodasi ke dalam pelbagai kebudayaan manusia tanpa harus menghilangkan identitasnya masing-masing. Agama sebagai kepercayaan yang memuat norma kemasyarakatan tidak harus menolak budaya setempat. Islam adalah ketentuan samawy, namun ia bukan mesti mengalahkan nalar budaya ardly. Oleh karenanya para ulama Islam di pelbagai belahan dunia non Arab, khususnya Asia Tenggara dan Indonesia mengintegrasikan antara keislamam dengan kebudayaa-kebudayaan lokal. Di mana kalangan ulama Nusantara telah mengadopsi sistem sosial, kesenian dan adat istiadat Indonesia ke dalam prespektif Islam. Hal ini memungkinkan aneka ragam kebudayaan Nusantara tetap lestari, meskipun Islam menyatukan wilayah ini dalam identitas agama.
Dalam sejarah Islam Jawa tentunya tak seorang pun yang tidak mengenal nama besar Walisongo. Para wali yang konon semuanya adalah keturunan Arab ~mengecualikan sunan Kalijogo~ inilah yang berjasa menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Pada abad ke-15 Walisongo mengislamkan masyarakat Jawa dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal jawa dalam Islam khas keindonesiaan. Walisongo mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama dengan kebudayaan masyarakat setempat. Ja’far Shodiq misalnya, ia mendekati masyarakat Kudus dengan memenfaatkan simbol-simbol Budha-Hindu. Dari sisi fisik stategi ini dapat ditengarai dari arsitektur menara, gerbang, dan jumlah pancuran tempat wudlu yang melambangkan delapan jalan Budha. Dari psikis Sunan Kudus sangat menghormati sapi, binatang yang dituhankan oleh masyarakat Hindu. Tradisi menghormati sapi masih dapat kita jumpai hinga saat ini. umat Islam di Kudus menyembelih kerbau, bukanya sapi pada hari raya Idul Adha.
Begitu pula Raden Sahid sangat toleran pada budaya lokal. Sunan Kalijaga berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh bila pendiriannya diserang melalui purifikasi. Ia berkeyakinan jika Islam telah dipahami, dengan sendirinya keyakinan lama akan hilang. Pencipta tembang Ilir-ilir yang termasyur ini jugalah yang merupakan penggagas perayaan sekaten, grebeg maulud dan kalimasadha. Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun, dengan dua beringin serta masjid ini diyakini pula sebagai karyanya. (Tashwirul Afkar. No.14, 2003)
Sebagai contoh adopsi budaya, ranggon masjid Demak diambil dari konsep ”meru” masa pra-Islam yang terdiri sembilan susun. Namun Sunan Kalijaga menjadikannya tiga susun saja, untuk melambangkan tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya orang baru beriman saja, kemudian ia melaksanakan Islam ketika menyadari pentingnya syariat. Barulah memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan mendalami tasawuf, hakikat dan ma’rifat. Ketika seseorang telah mencapai tingkat ihsan selubung formalitas disingkirkan, dan yang dikedepankan adalah kesalehan. Perbuatan saleh tidak mesti dibungkus dalam formalitas lembaga keagamaan.
Mengomentari manufer dakwah walisongo ini Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa antara Islam da paham pemikiran lain mengalami proses saling mengambil dan belajar. Dalam proses kompromi antara ajaran Islam dengan tradisi dan budaya, Islam tidak saja harus ”menjinakkan” sasarannya, tapi ia sendiripun harus bersikap ramah. Dengan demikian akan akan terjadi keragaman dalan Islam sebagai tuntutan ajarannya sendiri yang universal.
Hal ini bertolak belakang dengan purifikasi dan pembaharuan Islam yang dicanangkan Abdurrauf al-Singkili dan Muhammad Yusuf al-Maqassari pada abad ke-17. Islam kemudian semakin berkembang dibawah bendera purifikasi atau pemurnian ajaran Islam yang dipelopori oleh gerakan Wahabi. Gerakan nin sangat gencar melawan semua bentuk apresiasi terhadap adat istiadat dan tradisi lokal. Bahkan di tempat asalnya sendiri. di Mekkah mereka menghancurkan kubah-kubah Masjidil Haram. Di Madinah hampir saja terjadi pembongkaran makam Rasulullah, karena dianggap berbau bid’ah dan kemusrikan.
Keragaman Islam Nusantara semakin ketika kebangkitan Islam didengungkan. Meningkatnya intensifikasi persentuhan Indonesia dan Arab memungkkinkan pesona revolusi Iran, yang terjadi pada tahun 1978 menyebar ke mana-mana. Bahkan dijadikan tipe ideal gerakan Islam, yang mencita-citakan tegaknya kembali khilafah Islamiyah. Maka mulai saat itu aspirasi negara Islam muncul kembali.(Abdul Mun’im DZ, 2003)
Dewasa ini semangat pemurnian Islam telah berwujud gerakan massa yang merambah ranah praksis. Di antaranya adalah jaringan Ikhwanul Muslimin, Khizbut Tahrir Indonesia dan Majlis Mujahidin Indonesia. Mereka menghasilkam alternatif nyata wujud keberagamaa yang lain. keberagamaa Islam yang mereka sebut ”otentik”, Islami dan kaffah, yang seharusnya diberlakukan di seluruh dunia Islam. Sebuah fundalentalisme yang dianggap universal (shahih li kulli zaman wa makan; cocok untuk semua jaman dan keadaan).
Gagasan Islam pribumi yang dikembangkan sebagai jawaban dari Islam Otentik atau Islam Murni yang ternyata lebih mengarah kepada Arabisasi diusung oleh Abdurrahman Wahid dalam rangka menghindarkan tercerabutnya agama dari akar budaya. Menurut Gus Dur, proses Arabisasi atau mengidentifikasikan diri dengan Timur Tengah hanya mengakibatkan umat Islam Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri. bagaimanapun juga jelas berbahaya mengabaikan tradisi dalam proses agamisasi. Apalagi menempatkannya di seberang program agamisasi tersebut. Tradisi keyakinan keagamaan merupakan ruh bagi nalar individu dan masyarakat dalam memahami dinamika sosial dan proses pelebura agama, dalam tata hubungan sosial dan perilaku adat istiadat lokal.
Dengan pribumisasi Islam dapat dijamin adanya keragaman interpretasi dalam plikasi nilai-nilai keberagamaan di setiap wilayah yag berbeda. Kondisi ini memungkinkan Islam dipandang secara plural dan egaliter, bukan tunggal dan otoriter. Bagi Islam Pribumi, Islam bukanlah agama yang sekali jadi. Islam tidak lahir dari ruang lingkup dan lembaran kosong. Islam telah berafiliasi dalam fakta historis. Segala sesuatu, sekalipun Kitab Suci yang diyakini sebagai firman Tuhan yang abadi, karena telah membumi maka ia terkena kategori sebagai fakta historis.
Fakta historis ini dapat kita jumpai semenjak Islam masih berada di Mekah dan Madinah. Islam Mekah adalah Islam hasil perjumpaan wahyu dengan tradisi lokal Quraisy atau Arab paganis (jahiliyyah). Sedang Islam era Madinah adalah Islam yang telah bersinggungan dengan perbagai budaya dunia semacam Yahudi dan Nasrani. Dengan nalar historis bisa dimengerti jika karakter dan genre ayat Makkiyah berbeda dengan ayat-ayat Madaniyah.
Konsep Islamisasi Arab setidaknya menampakkan tiga pola, pertama Islam mengambil sebagian tradisi dan meninggalkan sebagian lainnya. Kedua, Islam mengambil dan meninggalkan tradisi Arab secara setengah-setengah dengan mengurangi atau menambahkan adat dan praktek pra-Islam. Ketiga, Islam meminjam norma-norma tersebut dalam bentuknya yang paling sempurna tanpa mancerna dan mengubah namanya. (Khalid Abdul Karim, 1990)
Karena sifatnya yang selalu berdialektikaa dengan relitas, maka tradisi keagamaan dapat berubah sesuai dengan konteks sosial dan kultural suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Islam yang baik adalah Islam yang memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat Indonesia. Menawarkan solusi atas problem-problem yang dihadapi dan menjawab tantangan-tantangan ke depan. Dalam pandangan Gus Dur sebagai penggagas pribumisasi Islam, Islam Pribumi sama sekali tidak berpretensi untuk mengangkat budaya-budaya lokal Arab, karena Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan.
Penulis adalah fasilitator Arabic and Middle East Studies. Pondok pesantren Ciganjur.
Sumber: GusDur.net
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi