Filsafat Islam dalam Bingkai Sejarah
Filsafat Islam dewasa ini menjadi domain wacana dan tema diskusi yang kuat di kalangan pemikir (pemerhati filsafat) di Timur maupun di Barat. Setidaknya hal ini terjadi pada abad ke-19 hingga kini.
Sebut saja orang-orang seperti Adam Mez, Henry Corbin, Goldziher, Hitti, HAR. Gibb, atau Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Joel Kraemer, dan belakangan Oliver Leaman serta beberapa ahli filsafat muslim yang ada di Eropa lainnya ikut mengkaji filsafat Islam secara intens.
Adapun sebelumnya, wacana filsafat Islam seringkali tidak terjamah bahkan mungkin hampir ditiadakan baik itu di kalangan pemikir Barat, maupun dalam sebagian tradisi Islam sendiri.
Filsafat Islam dipandang sebagai sebuah objek yang asing dan serangkaian ilmu import yang harus dilawan dan diperlakukan sebagai anak yatim oleh para sarjana Barat terutama para sejarawan kuno.
Referensi yang selama ini dirujuk oleh para sarjana Barat ketika menghubungkan antara Kebangkitan (Renaissance) di Eropa adalah tradisi keilmuan Yunani yang dikenal dengan zaman logos. Hal ini sangat kuat diyakini terutama dalam cara pandang tentang kehidupan yang dilandasi oleh pemikiran filosofis Yunani. Selalu saja rujukan awal yang dicari adalah para pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Memang hal ini bukanlah sebuah kesalahan fatal. Namun ketika hal tersebut tidak pernah dikaitkan dengan kejayaan yang pernah diraih oleh Islam –dan kita tahu bahwa Islam sangat banyak menyumbangkan pemikiran dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, sejarah, dan beberapa bidang lainnya–, ada keterputusan-sejarah yang pada akhirnya menyebabkan kerancuan-ilmiah dalam memandang filsafat secara umum terutama dalam filsafat Barat pasca Renaissance. Karena pada dasarnya ada kotinuitas-historis yang tidak bisa kita abaikan.
Ketika Islam mengalami kejayaan peradaban pada abad ke-9 hingga abad ke-11, dunia Islam sendiri mengakui adanya andil besar gelombang helenisme yang lebih awal dalam mengais kemajuan peradaban. Dalam hal terakhir ini, pengaruh pemikiran Plato, Aristoteles, dan beberapa tokoh lain, coba ditafsirkan oleh para filosof muslim awal seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Hasan Hanafi mencoba mendongkrak asumsi-asumsi salah yang dilancarkan para pengkaji filsafat Islam, baik dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan orientalis. Menurut Hanafi, selama ini mereka menduga bahwa para filosof muslim hanya melakukan pembacaan terhadap filsafat Yunani, kemudian mengikuti, melakukan anotasi, dan meringkas karya para filsuf Yunani, serta mencampuradukkannya dengan filsafat Islam, dengan memperburuk pemahaman tentang konsep-konsep filosofis.
Namun saya kira, tradisi Yunani pun tidak bisa lepas dari perkembangan tradisi filsafat Timur-Dekat sebagai pendahulunya. Secara genuin, Joel L. Kraemer menjelaskan bahwa filosof-filosof Yunani pra-Socrates seperti Empedokles, umpamanya, dikatakan telah belajar kepada Luqman “sang filosof” (Luqman al-Hakim) di Syro-Palestina pada masa Nabi Daud; atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-murid Nabi Sulaiman di Mesir, dan belajar geometri pada orang-orang Mesir. Kemudian para filosof semacam ini membawa tradisi “filosofis” yang mereka serap dari Timur menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut.
Ada khazanah yang cukup berharga dari temuan-temuan pada filsafat Islam yang selama ini tidak diakui oleh filosof dan pemerhati filsafat di Barat. Padahal Islam sendiri memiliki tradisi keilmuan yang begitu kokoh, terutama pada abad pertengahan. Atau mungkin sebenarnya mereka banyak mengambil khazanah pemikiran filsafat Islam, namun mereka enggan untuk mengakui keberadaannya secara ontologis dalam rentetan sejarah peradaban dunia.